Chapter 22
"Ih Alex mah gitu. Ini aku Callista, Lex! Kan, aku udah pernah bilang ke kamu. Masa gak percaya sih?!"
"Gue gak percaya!" Alex mematikan sambungan teleponnya secara sepihak lalu membantingnya di tempat tidur. "Sialan!"
***
Sarapan keluarga Caitlyn kali ini sedikit sepi. Tidak ada percakapan di antara kedua gadis itu. Yang satu sibuk memikirkan satu hal dan yang satu lagi sibuk memikirkan apa yang dipikirkan sepupunya. Ketty, Ibu Diva, yang kebetulan hadir saat sarapan juga menatap kedua gadis di hadapannya dengan bingung.
"Kalian itu kenapa kok diem-dieman?" tanya Ketty seraya memberikan piring berisi roti bakar isi coklat favorit kedua gadis itu.
Diva mengangkat kedua bahunya lalu menerima piring yang diberikan Ketty. "Gak tau, Ma. Callista yang diem aja tuh." Diva menunjuk Callista yang ada di hadapannya.
Callista tidak menanggapi. Dia tetap melamun dan memikirkan hal yang semalaman mengganggu pikirannya. Meja kosong di hadapannya pun menjadi objek favoritnya saat ini.
Flashback On
Setelah pulang dari pertemuannya dengan Rega, Callista dan Diva berjalan masuk ke dalam rumah mewah keluarga Diva dengan perasaan campur aduk. Sedikit ada keraguan untuk melawan anak dari pria yang dicari oleh mereka. Masalahnya, salah satu anak yang memiliki jiwa psikopat itu belum ditemui oleh mereka.
"Capek gue astaga!" Diva menjatuhkan dirinya ke sofa empuk yang seakan-akan menelannya. "Capek hati dan pikiran."
Callista terkekeh pelan melihat tingkah sepupunya itu. "Kita belum apa-apa loh. Masih tahap pertama ini. Dan kita belum tau apa yang bakal dilakuin sama psikopat itu."
Diva menegakkan kembali tubuhnya. "Iya sih. Tapi wajar dong kalo gue capek. Emang lo gak capek?" tanya Diva.
"Gak dong. Bawa asik aja. Lo gak inget cita-cita gue dulu apa?" Callista ikut duduk di sebelah Diva yang sedang menatapnya malas.
"Ya, ya, ya. Lo pengen jadi intel atau kalo bisa CIA karena lo suka berbau pencarian sesuatu. Ya, singkatnya lo pengen jadi detektif sejenisnya." Tentu saja Diva hafal dengan kelakuan sepupunya itu.
"Tuh lo tau!"
Diva hanya mendengus kesal lalu bangkit dari duduknya. "Yaudah. Gue naik duluan, ya! Gue ngantuk, mau tidur dulu. Byee!" Diva berjalan menuju tangga rumahnya setelah diangguki oleh Callista.
"Huh, kapan juga masalah ini kelar. Gue udah gak sabar sama ending masalah ini." Callista merebahkan dirinya pada sofa. Dia memejamkan matanya karena jujur saja, sebenarnya dia juga lelah. Fisik maupun pikiran.
Baru saja dia akan memasukki alam mimpi, ada sebuah panggilan yang memaksanya untuk membuka matanya kembali.
"Permisi, Non?"
Callista mengerjapkan matanya beberapa kali untuk menormalkan pengeliatannya yang cukup buram beberapa saat. "Eh iya, Bi, ada apa?" tanya Callista dengan suara seraknya.
Salah satu pembantu rumah Diva itu sedikit gelagapan karena sudah membangunkan majikannya. "Eh, maaf, Non. Saya tidak tahu jika Non Callista sudah tidur."
Callista tersenyum menenangkan. "Nggak papa, Bi. Belum bener-bener tidur kok." Mata Callista teralih pada sebuah amplop yang ada di genggaman orang di hadapannya. "Itu buat aku, Bi?"
Pembantu itu menatap amplop di tangannya lalu mengangguk. "Eh iya, Non." Dia memberikannya pada Callista.
"Makasih, Bi!" Callista tersenyum ramah dan dibalas oleh pembantu itu. Setelah dia kembali sendiri, amplop itu dibolak-balikan untuk mencari siapa yang mengirimnya. "Dari siapa, ya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Classroom.
Teen Fiction"Senyuman lo bikin gue de javu. Sayangnya, gue nggak bisa inget siapa lo. Ditambah lagi dengan masa lalu gue yang nggak bisa bikin gue deket sama sembarang cewek." - Agra Caldwell. Kelas XII IPA-3 kedatangan murid baru. Pindahan dari Semarang, katan...