Chapter 24

49 7 5
                                    

Tidak ada lagi celotehan yang terlontar dari kedua gadis di rumah George Caitlyn. Keduanya saling terdiam bahkan tidak saling sapa. Callista tidak pernah keluar dari kamarnya kecuali untuk pergi kemanapun dia bisa melupakan masalahnya. Diva menyibukkan diri dengan Alex dan teman-temannya.

Tidak terasa senin besok sudah memasuki hari dimana ujian akhir semester ganjil dilaksanakan. Baik Callista maupun Diva saling menyibukkan diri dengan mata pelajaran yang akan mereka hadapi di hari Senin besok. Dengan itu, mereka tidak akan bersusah-susah untuk membuat alasan yang akan mereka berikan kepada George maupun Ketty.

Kenyataannya, Callista sama sekali tidak fokus dengan apa yang dia baca saat ini. Masuk sedikit dalam otaknya, lalu menguap bak air laut yang terkena sinar matahari. Dia menutup bukunya dengan kasar lalu membantingnya di atas meja belajar miliknya. Dirinya memilih untuk bangkit dari tempat duduknya lalu mengambil boneka kecil kesayangannya. Setelah menyambar kunci mobil miliknya-yang telah dikirim oleh suruhan papanya dari Sydney-Callista langsung mengambil langkah seribu untuk keluar dari rumah super duper mewah milik pamannya.

Setelah menempuh beberapa menit perjalanan dengan menyetir di atas rata-rata, Callista akhirnya sampai di sebuah taman yang selalu mengingatkannya pada masa lalunya. "I miss him," gumam Callista seraya meremas boneka panda kecil di tangannya. "Panpan, where is he? I want to meet him. Dia selalu buat gue ketawa di saat gue lagi kepikiran sama masalah dari keluarga gue. Tapi gue nggak tau dia dimana, Panpan." Tanpa diminta, air mata turun dari kedua matanya.

"Lo nggak harus terpuruk kayak gini meskipun lo kehilangan seseorang," sahut seorang lelaki yang tiba-tiba sudah duduk di sebelahnya.

Callista langsung menghapus air mata setelah tahu dia tidak sendirian disini. Bahkan dia tidak tahu siapa orang yang ada di sebelahnya saat ini.

Menyadari kebingungan Callista, lelaki itu tersenyum manis seraya mengulurkan tangan kanannya. "Kenalin, gue Gerald," ucap Gerald.

Tangan Callista menerima tangan Gerald yang terulur padanya. "Callista," ucap Callista seraya membalas senyuman Gerald. Berhubung kali ini Callista tidak memakai penyamarannya, jadi Gerald dapat melihat jelas wajah asli-nya yang blasteran Indo-Eropa tersebut.

Gerald melepaskan jabatan tangannya lalu menatap Callista dengan intens. "Lo ada masalah sama pacar?" tanya Gerald.

Callista menggelengkan kepalanya. Dia tidak memikirkan Agra karena hubungan mereka tidak ada masalah sama sekali dan dirinya pun sudah memaafkan Agra. Sejak pertengkarannya dengan Alex dan Diva, Agra memilih untuk memisahkan diri dengan keempat temannya dan memilih untuk bersama Callista. "Bukan, temen lama, tapi gue nggak tau dimana dia sekarang. Gue nyesel udah ninggalin dia dulu. Coba aja sekarang ada dia, pasti udah hibur gue saat gue sedih karena berantem sama sepupu gue." Bayangan dimana Diva yang menuduhnya sebagai penggoda dan Alex yang menamparnya karena dirinya yang menjelekkan Diva.

"Hei!" Panggilan Gerald membuat Callista tersadar akan lamunannya. "Ngelamunin apa?" tanya Gerald seraya mengernyitkan keningnya. "Dan kenapa lo bisa berantem sama sepupu lo?"

Callista menundukkan kepalanya saat dia merasa cairan bening itu kembali keluar. "Gue berantem sama dia karena ada yang memfitnah gue. Parahnya, sepupu gue percaya gitu aja tanpa dengerin penjelasan gue. Bahkan dia ngecap gue sebagai penggoda dan saat gue kelepasan ngatain dia, pacarnya nggak terima dan langsung nampar gue. Dan dari saat itu, gue udah nggak ngobrol lagi sama dia. Gue pun nggak keluar kamar sama sekali biar ngehindarin dia."

Gerald mengangkat dagu Callista lalu menghapus air mata gadis itu. "Nangis bisa bikin lo lega, tapi inget, nangis nggak bakal bisa nyelesein masalah lo." Ucapan Gerald membuat hati Callista terenyuh. "Coba lo jelasin dulu ke dia. Lo satu rumah sama dia, kan? Gue tau dari cerita lo."

Classroom.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang