Chapter 4

289 105 45
                                    

Callista bergerak-gerak mencari keberadaan ponselnya yang disimpan di nakas sebelah tempat tidurnya. Dia mengerjapkan matanya beberapa kali sambil menunggu nyawanya terkumpul semua. Saat sudah terkumpul, dia melihat jam yang ada di ponselnya.

06.00 AM

"MAMPUS TELAT GUE! VAN, VANYA!" teriaknya heboh. Sayangnya, tidak ada sahutan dari orang yang dipanggilnya.

Tak menggubris ada sahutan atau tidak, dia berjalan tergesa-gesa menuju kamar mandi yang ada di dalam kamarnya untuk mandi seadanya alias mandi bebek. Setelah itu, dengan cepat dia memakai seragam lalu menyisir rambutnya dan menguncirnya menjadi 2. Callista melirik kearah jam, berharap waktu bisa berjalan lambat. Jarum pendek mengarah ke angka 6 dan jarum panjangnya mengarah ke angka 3, 06.15. Sekolah masuk pukul 06.30, sedangkan perjalanan yang ditempuh adalah 10 menit.

Masih ada waktu, pikir Callista.

Dengan kecepatan penuh, Callista menyambar tas sekolahnya dan langsung berlari keluar rumah. Ternyata keadaan rumah sudah sepi, hanya ada pembantu saja. Diva sudah pasti berangkat terlebih dahulu. Orang tua Diva juga pasti sudah berangkat bekerja.

George, Papa Diva bekerja menjadi CEO di perusahaan yang didirikan kakek Diva dan Callista. Sama dengan Papa Diva, Tyler—Papa Callista—juga bekerja pada perusahaan yang sama namun yang membedakan adalah Papa Callista merupakan CEO yang ada di Sydney. Sedangkan itu, Ketty, Mama Diva adalah pemilik dari butik yang terkenal di Jakarta dan sudah mempunyai cabang di beberapa daerah di Indonesia. Jane, Mama Callista sendiri juga mempunyai restoran yang terkenal di Sydney dan sudah membuka cabang di belahan kota Australia yang lain.

"Pak, anterin saya ke sekolah dong!" ucap Callista kepada supir yang ada di rumah itu.

"Siap! Yuk, Non," ajak supir itu.

Di tengah-tengah macet, Callista menggerutu karena 2 hal. Pertama, macet memperlambat perjalanannya. Kedua, Vanya—Divanya—meninggalkan dirinya di rumah tanpa membangunkannya terlebih dahulu. Sudah berkali-kali Callista mendengus kesal.

"Pak, Vanya udah berangkat dari tadi ya?" tanya Callista menghadap supir.

"Udah, Non. Jam setengah 6 tadi. Buru-buru katanya," jawab supir itu.

Callista mendecak kesal. Dia membuka ponselnya dan melihat jam yang tertera disana. 06.25 AM. Matanya langsung membulat sempurna. "Ya ampun, pak! Udah mau setengah 7 nih!" teriak Callista sambil menggoyang-goyangnya lengan supir.

"Aduh, lengan saya jangan di goyangin Non, nanti bisa ketabrak. Sebentar lagi sampai kok."

Callista turun dari mobil dengan tergesa-gesa. Disana sudah terlihat satpam akan menutup pintu gerbang. Dengan kekuatan semampunya, Callista lari menuju pintu gerbang. Tapi sepertinya sia-sia. Pasalnya, satpam itu sudah mengunci rapat pintu gerbang.

"Pak, bukain bentar dong! Saya barusan aja dateng!" pinta Callista seraya menggedor-gedor pintu gerbang.

Tapi apa daya, yang menjaga gerbang kali ini adalah Pak Adi, seorang satpam yang sangat disiplin tentang peraturan di sekolah itu.

"Eh enak aja! Kalo mau masuk, tunggu ada suruhan dari guru BP baru saya bukain!" teriak Pak Adi dari pos satpam.

Callista mendesah kecewa. Yang pasti dia akan mendapat hukuman dari guru BP dan akan membuat reputasinya sebagai anak baru hancur. Sampai akhirnya, dia mendengar suara deruman motor berhenti di dekatnya.

"Aduh mampus, yang jaga hari ini si Adi lagi!" teriak salah satu dari mereka yang sedang dibonceng. Callista tidak dapat mengenali mereka berdua karena helm yang digunakan hanya memperlihatkan mata mereka.

Classroom.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang