Chapter 29

33 2 0
                                    

Seminggu berlalu dan dalam seminggu pula Callista tenggelam dalam diam. Tidak ada yang tahu penyebabnya—kecuali Agra yang tiba-tiba ikut bungkam. Agra pun kembali menjadi sosok yang diam tapi bedanya tidak dilingkupi es kutub yang dingin. Pandangan Agra bisa tiba-tiba kosong jika tidak sengaja bertatapan wajah dengan Callista.

Dalam seminggu ini, Callista begitu gencar menghindari geng Anak Mama Ganteng terutama Agra tentunya. Hatinya sakit ketika melihat Agra yang ternyata adalah kembaran Arga—atau Gaga. Ingatannya akan kembali pada ibu Agra yang mengatakan jika Arga sudah tiada. Batinnya tidak terima. Callista merasa jika penantiannya ini begitu sia-sia.

Seperti kali ini, Callista yang duduk disebelah Diva pun hanya bisa membisu. Ujian akhir sudah selesai dilaksanakan dan para murid diberikan kebebasan di sekolah. Callista menyibukan diri dengan earphone yang terpasang dikedua telinganya seakan tidak menganggap kehadiran Diva. Penampilannya masih memakai samaran karena sewaktu Diva membahasnya, Callista selalu terdiam mengacuhkan.

Diva berdecak kesal melihat sepupunya yang sudah seminggu ini bak manekin hidup. Pandangannya kosong dan jika sedang didalam kamar, sepupunya itu akan tiba-tiba menangis. Tidak ingin sepupunya menjadi gila, Diva menyentil dahi Callista. Bukannya meringis kesakitan, Callista hanya mengedip sekali lalu pandangannya kembali kosong. "Hei! Lo nggak mau jadi gila, kan?!" Bentakan Diva masih saja diacuhkan oleh Callista.

"Yah, kasian. Sepupunya gila nih, guys! Kalo gue sih udah dimasukin ke rumah sakit jiwa kali!" Benar. Yang baru saja mengeluarkan sindirannya itu Zahra. Kedua teman segengnya pun ikut tertawa mengejek.

Tangan Alissa bergerak untuk menepuk pelan puncak kepala Callista dan berlagak seperti mengasihani. "Ya ampun. Kamu mikirin apa sih, Cal? Mending mikirin aku deh." Detik selanjutnya, ketiga gadis itu tertawa terbahak. Untung saja kebanyakan murid 12 IPA-3 tidak ada yang di kelas. Kebanyakan berada di kantin dan lapangan. Hanya ada Agra, Alex, Adrian dari Anak Mama Ganteng dan ketiga gadis queen bee sekolah.

Tangan Alissa ditepis kasar oleh Diva yang sudah menggeram kesal. "Mau lo apaan sih?! Balik ke alam kalian sana! Bisanya ganggu orang. Gabut, mbak?"

Alex melihat itu semua. Tangan kanannya yang tidak berbalut gips itu sudah gatal ingin menarik Zahra dan kedua temannya untuk kembali ke tempat asal mereka. Tapi, kecanggungan itu masih terasa. Dirinya berakhir kembali menatap keempat temannya.

"Eh lo kok udah berani sama gue ya?! Mentang-mentang udah beberapa bulan ini gue nggak bertindak lagi. Nggak usah sok-sok an deh!" Amarah Alissa pun tersulut. Wajahnya sudah memerah sedangkan kedua temannya hanya menatapnya dengan senyuman miring.

Diva bangkit dari duduknya lalu menatap nyalang Alissa yang berada dihadapannya. "Yang lo gangguin itu sepupu gue!"

Alissa mengangkat sebelah alisnya seperti tidak terkejut dengan fakta yang baru saja diakui oleh Diva. "And then? Gue harus bilang wow gitu? Najis!" Telunjuk Alissa mendorong kasar dahi Diva.

"Lo–"

"Oi! Diva sama Callista dipanggil kepala sekolah!"

Diva menoleh cepat kearah pintu kelas. Disana berdiri seorang siswa yang baru saja menyampaikan pesan tersebut. "Iya makasih." Tangannya terulur untuk menarik Callista bangkit dari duduknya. "Ayo, Al."

Membangkitkan tubuhnya lalu menubruk keras bahu Alissa. Gadis itu terhuyung dan ditahan oleh Zahra. Keduanya menatap nyalang kedua gadis culun yang baru saja keluar dari kelas. Tidak ada yang tahu jika mereka berdua dapat melakukan hal seberani itu. Terlebih lagi ini geng Zahra yang dielu-elukan kecongkak-annya terhadap sekitar.

Tangan Zahra mengambil ponsel apel tergigit dari saku roknya. Tangannya menggenggam kesal ponselnya seraya mengetikkan sebuah pesan disana. Pesan yang tentunya untuk sang kakak yang merencanakan misi bersamanya.

Classroom.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang