Part 19

1.5K 115 26
                                    

"Saya antar kamu pulang sekarang aja ya," bujuk Rendra entah untuk yang keberapa kalinya setelah ia dan Dira meninggalkan kantor gadis tersebut. Mereka akhirnya memilih untuk membeli sate Madura atas permintaan Nadira yang katanya sedang ingin memakan makanan tersebut.

"Saya gak kenapa-kenapa pak Rendra." Dan jawaban Dira sejak tadi tidak pernah berubah.

"Tapi wajah kamu pucat banget. Pulang aja ya."

"Tapi kita harus menyelesaikan masalah kita. Bukannya Bapak meminta penjelasan saya hari ini?"

"Saya lebih memilih mendengarkan penjelasan kamu setelah kamu sehat dari pada harus melihat wajah pucat kamu seperti ini." Rendra melirik Nadira sekilas sebelum kembali fokus pada kemudi.

"Saya yang gak bisa seperti itu. Saya gak mau ya, Bapak jadi berfikir kalau saya manfaatin Bapak setelah kejadian kemarin, kalau saya gak menjelaskan apa alasan saya."

Rendra mengusap rambutnya frustasi menggunakan sebelah tangannya. "Ya Allah, Nadira, saya gak pernah berpikir seperti itu tentang kamu. Saya tahu pasti ada alasan kuat dibalik tindakan kamu kemarin, dan saya hanya ingin tau apa alasannya. Bukan karena saya berfikir kamu manfaatin saya. Saya gak keberatan kamu manfaatin kalau memang itu yang terbaik buat kamu."

Nadira yang sejak tadi fokus melihat jalanan di depannya kini menolehkan kepalanya ke kanan. Melihat lelaki disebelahnya dengan pandangan tak percaya. Sarap kali ya ni orang? masak gak keberatan gitu mau gue manfaatin?

"Gak usah masang muka begitu kalau ngeliatin saya, nanti kamu naksir." Kata Rendra tanpa mengalihkan tatapannya, membuat Dira memalingkan wajahnya sambil mencibir.

"Tapi naksir sama pacar sendiri 'kan gak dosa ya? Jadi gak papa deh kalau kamu mau liatin saya terus."

Dira melirik sinis lelaki disebelahnya. "Kalau gak pake nyindir berapa ya?"

"Lima ribu aja Neng, itu udah termasuk bonusnya gratis bawa pulang cinta Akang."

Nadira membuka mulutnya seperti hendak mengatakan sesuatu, namun kembali menutupnya setelah mendengar lelucon garing Rendra barusan. Rendra terkekeh melihat ekspresi Dira saat ini yang menurutnya sangat menggemaskan.

Tiba-tiba ponsel di saku celana Rendra berbunyi, membuat Dira sadar dari kelakuan bodohnya dan kembali memalingkan wajahnya untuk menatap jalanan di depannya. Dalam hati Rendra memaki siapapun yang saat ini menelponnya, terutama kalau yang menelponnya si curut Evan yang mungkin masih tidak terima ia membatalkan janji makan siang dengan klien tadi.

Namun ia mengernyit ketika melihat nomor telpon rumahnya yang tertera di layar. Seketika pikiran negatif mulai bermunculan dibenaknya. Ia langsung mengangkat panggilan tersebut setelah menghentikan mobilnya sambil menunggu lampu merah.

Wajahnya Rendra mendadak berubah panik setelah mendengar apa yang disampaikan oleh penelpon. Ia menutup telponnya lalu melirik kearah Dira dan ponselnya secara bergantian.

Dira yang melihat tingkah aneh Rendra memutuskan untuk bertanya, "Kenapa?"

"Saya antar kamu pulang aja ya?" kata Rendra sambil kembali menjalankan mobilnya.

Dira menatap Rendra bingung, "Saya bilang baik-baik saja. Bukannya kita sudah tidak perlu berdebat tentang hal ini lagi?"

Rendra menepikan mobilnya dan menatap Dira ragu. Dira menghela nafas melihat gesture yang ditampilkan oleh Rendra. Menjadi psikolog membuatnya bisa memahami gesture tubuh seseorang yang menjadi lawan bicaranya. Ia tahu saat ini Rendra sedang bimbang dan gelisah akan sesuatu yang tidak ia ketahui.

FATE - Slow UpdateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang