Part 15

1.5K 85 2
                                    

"Tadi malam pulang diantar siapa kak?" tanya mama saat aku baru saja mendudukkan pantat seksi ku di kursi untuk sarapan pagi ini.

"Temen." Jawab ku singkat sambil mulai mengoleskan selai serikaya pada roti di piring ku.

Mama menghentikan aktivitasnya yang sedang menuang kopi di gelas papa lalu bertanya penuh selidik, "cowok atau cewek?"

"Cowok." Setelah roti ku terlapisi selai dengan sempurna aku mulai menggigit roti ku. Mengabaikan pertanyaan mama yang mulai terdengar seperti polisi yang sedang menginterogasi maling jemuran.

"Temen apa temen? Ganteng gak?"

Aku mendengus. Pertanyaan mama kini justru lebih terdengar seperti seorang wartawan gosip yang sedang mencari berita sensaional. Aku meletakkan roti yang baru ku makan setengah dan menatap mama. Aku terlebih dahulu menarik nafas sebelum mulai berbicara, karena aku tahu, ini akan menjadi obrolan yang sangat panjang.

"Cuma temen, ma, dan karna dia cowok jadi udah sewajarnya dia ganteng. Kalau gak ganteng berati dia bukan cowok."

"Gak semua cowok itu ganteng, kak. Tuh buktinya penjual gorengan deket simpang. Dia kan juga cowok, tapi dia gak ganteng." Protes mama tidak terima.

Kalau tadi aku hanya mendengus, kali ini aku sampai memutar bola mata. Aku tahu ini gak sopan, tapi omongan mama itu loh. Ya ampun.

"Ma," Kata mencoba memberi pengertian. "kalau tuh penjual gorengan punya muka ganteng, dia gak bakal jualan gorengan. Aku yakin dia lebih milih jadi artis aja." Setelah berkata seperti itu aku kembali menggigit roti yang tadi sempat terabaikan.

"Terserah kamu aja deh. Berarti intinya cowok yang ngantar kamu pulang itu ganteng." Mama mengangguk-anggukkan kepalanya yakin. "Tapi kok cuma temen sih kak? Kenapa gak dijadiin pacar aja?"

Aku tersedak roti yang aku makan saat mendengar pertanyaan mama. "Mama apa-apaan sih pertanyaannya? Dikira buat jadiin pacar itu prosesnya kaya goreng kerupuk, yang cuma dimasukin ke minyak panas sebentar terus habis itu langsung diangkat lagi?" tanya ku mulai kesal.

"Maksud kakak itu dari status temen jadi pacar itu butuh proses, ma." Nadine yang dari tadi hanya diam akhirnya menimpali. "Jadi mama tunggu sampai watunya aja kapan status itu bakal berubah." Ia menoleh kearahku sambil tersenyum manis dan mengedipkan matanya, "Iya 'kan kak?"

Kampret emang nih anak. Dari tadi diem, tapi sekalinya ngomong langsung minta dijitak.

Mama mengangguk-angguk mendengar penjelasan dari Nadine. "Jangan lama-lama ya kak, prosesnya. Biar bisa cepet susul Nadine nikah. Masa kamu masih jomblo aja. Kamu punya janji loh sama mama."

"Ma," tegur papa penuh peringatan. "Kalian berdua kalau sudah selesai sarapan langsung berangkat ke kantor aja, sudah siang." Papa beranjak dari kursinya dan berjalan menuju kamar. Tidak memperdulikan mama yang merasa kesal karena diacuhkan.

"Kak, nebeng ya." Pinta Nadine dengan muka yang dibuat semelas mungkin.

"Hm."

Setelah berpamitan dengan mama dan papa, kami berangkat ke kantor masing-masing dengan Nadine yang menebeng di mobil ku. Heran deh sama dia, kenapa gak beli mobil sendiri coba?

"Kak," panggil Nadine setelah dari tadi kami hanya diam.

"Hm," jawab ku singkat.

"Lo, gak papa?"

Aku menaikkan alis, "gak papa gimana maksudnya?"

"Ya itu, gue nikah duluan." Nadine menggaruk tengguknya salah tingkah. "Lo beneran gak papa?"

FATE - Slow UpdateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang