Bagas menyeruput lemon tea yang tadi Detak suguhkan untuknya. Tebakan Bagas sebelumnya benar, Detak memiliki masalah di rumahnya makanya Detak tinggal terpisah. Sangat disayangkan rumah semewah ini tidak ditempati.
"Gue mau ke kamar, lo tau pintu keluar kan?"
Bagas mengalihkan perhatiannya dari foto keluarga yang terpajang dengan cantik di dinding kembali menuju Detak. Gadis itu bahkan terlihat tidak peduli dengan jawaban Bagas.
"Gue masih mau disini," jawab Bagas cepat seraya berjalan mengikuti Detak.
Detak menghentikan langkahnya dan menatap Bagas tak suka, untuk alasan apalagi Bagas masih berada di dalam rumah--orangtua-- nya?
"Kenapa?" tanya Bagas polos.
"Gue kira lebih baik lo pulang, sekarang," jawab Detak datar.
"Lo kesepian."
Detak menatap Bagas tidak suka, lalu tanpa disadarinya tangannya terlipat di depan dada. "Maksud lo apa?"
"Pertanyaan gue tadi, gue dapet jawabannya. Alasan lo enggak tinggal di rumah karena disini lo kesepian," jawab Bagas berusaha menyembunyikan seringainya.
Sedangkan Detak membisu mendengar perkataan Bagas yang memang benar adanya. Dirinya memang kesepian.
"Jadi lo masih mau disini atau ikut gue?" tanya Bagas tiba-tiba.
"Kemana?"
"Lo bakalan tau nanti."
***
Senyum Bagas mengembang saat melihat wajah datar Detak di sebelahnya. Gadis itu sangat minim ekspresi. Padahal kalau Melly yang diajaknya ke sini pasti akan langsung memeluknya kegirangan.
Hamparan kebun teh di depan matanya masih belum bisa membuat Detak bahagia karena Bagas tidak tau yang mampu menghapuskan kesedihan Detak hanyalah tidur, dengan begitu hari akan terasa singkat dan rasa kesepian itu juga akan sedikit berkurang. Orang yang banyak tidur adalah orang yang paling kesepian. Detak sangat setuju dengan itu.
"Mau sampai kapan berdiri terus?" tanya Bagas yang kini tengah duduk di bawah pohon. Kebun teh ini memang cukup unik karena di tengah-tengahnya terdapat pohon lebat yang tumbuh dan hal itu yang pernah membuat Melly kegirangan, katanya bagus untuk dipost di instagram.
"Kenapa lo ngajak gue kesini?" tanya Detak sambil memposisikan duduknya agar tidak terlalu dekat dengan Bagas.
"Lo kenal Melly? Dia bisa dibilang satu-satunya cewek yang kenal gue luar dalem--"
"Maksud lo?" potong Detak.
"Bukan, bukan itu intinya..."
Hening, Detak menunggu Bagas melanjutkan perkataannya.
Bagas memandang wajah Detak yang berada satu meter di sebelah kanannya, dari tadi wajah itu tidak menggambarkan apapun. Datar. Tanpa ekspresi. Sulit ditebak.
Detak yang risih ditatap Bagas hendak mengatakan sesuatu namun tidak jadi.
"Gue ngajak lo kesini murni untuk ngungkapin rasa terimakasih gue buat yang tadi malem dan juga buat bikin lo seneng... Tapi rasanya gue masih harus berusaha lagi," kata Bagas serius.
Telunjuknya menunjuk wajah Detak dengan gerakan melingkar pelan, "Di muka lo, nggak ada yang berubah."
Detak mengalihkan pandangannya dari Bagas. Matanya menatap jauh ke depan, tapi dirinya memikirkan perkataan Bagas barusan. Kapan terakhirkali dirinya tersenyum setelah pulang ke rumah?
"Lo pernah kepikiran enggak kalau pertemuan awal kita itu kurang menyenangkan?" tanya Bagas membuka percakapan untuk memukul keheningan diantara mereka.
"Enggak." Detak menjawabnya cepat.
"Lo enggak lupa kan kalau gue udah ngebantu lo bebas dari godaan temen gue?" kata Bagas sedikit sebal.
Detak tersenyum tipis, "Lo enggak lupa kalau pertemuan pertama kita itu kamu langsung tidur di kasur gue?" tanya Detak.
Bagas tidak mendengar ucapan Detak barusan karena fokusnya hanya tertuju pada satu, senyuman Detak. Senyuman singkat yang bahkan tidak masuk ke dalam kategori sebuah senyuman karena jangka waktunya yang benar-benar singkat, tapi hebatnya senyuman itu berhasil membuat Bagas terpesona.
Mendapat tatapan bingung dari Detak, Bagas langsung berdiri. "Mau pulang sekarang?" tanyanya dengan mati-matian menghilangkan rasa gugupnya.
"Iya," jawab Detak sambil mengibas-ngibasnya bagian belakang celananya lalu berjalan dua langkah di depan Bagas.
***
Detak berjalan keluar kampus dalam diam setelah memasangkan earphone berwarna putih di kedua telinganya. Matanya membuka playlist musik Ariana Grande, penyanyi favoritnya.
Baru saja Detak memutarkan lagu Everyday milik Ariana, suara itu menghilang berbarengan dengan dilepasnya earphonenya oleh seseorang. Matanya menangkap wajah tampan Fikri yang tengah tersenyum tanpa dosa ke arahnya.
"Pulang bareng gue ya?" tanya Fikri penuh harap.
"Terimakasih tapi tidak usah," jawab Detak jutek lalu melanjutkan langkahnya setelah memasukkan ponsel dan earphonenya ke dalam tas, dirinya sudah tidak dalam mood yang baik untuk mendengarkan musik.
Fikri tersenyum melihat sikap jutek Detak yang menurutnya sangat menggemaskan. Dengan langkah yang cukup besar, Fikri sudah berjalan di samping Detak dan merangkulnya erat. Detak menatapnya tajam, pertanda kalau dirinya tidak suka dengan perlakuan Fikri tetapi Fikri tidak peduli karena inilah yang dia inginkan. Berdekatan dengan Detak.
Mood Detak hari ini sedang buruk, menstruasi hari pertamanya benar-benar menyiksa. Bahkan pesona seorang Fikri saja tidak mempan mengalihkan perhatiannya dari rasa sakit yang ia rasakan di bagian perutnya.
"Mau langsung pulang sekarang?" tanya Fikri.
Detak tidak menjawab, dia tetap melangkah dengan cepat ke perpustaan. Detak berniat untuk meminjam beberapa buku sumber untuk mengerjakan tugas jurnalnya.
Fikri tetap setia menemani Detak dalam diam, pada akhirnya Fikri paham apa yang harus dia lakukan untuk menghadapi sikap Detak yang tiba-tiba jutek padanya.
Lalu setelah mendapatkan semua buku yang dibutuhkan, Fikri bertanya lagi, "Pulang sekarang?" yang dijawab dengan anggukkan kepala Detak.
***
Fikri tidak menyangka kalau unit apartemen Detak tepat berada di sebelah unit apartemen Bagas, tapi hal itu tidak menganggu pikiran Fikri sama sekali karena ia tidak tahu kalau Detak dan Bagas saling kenal.
Fikri mengikuti Detak masuk ke apartemen setelah perdebatan ketat di mobilnya tadi, mereka mendebatkan perihal Detak yang harus di bantu Fikri atau tidak untuk mengerjakan tugas jurnalnya. Dan Fikrilah yang menang.
Dengan telaten Fikri membuka lembar demi lembar buku sumber yang Detak pinjam di perpustakaan, lalu memberikan tanda disana sini untuk Detak baca dan pahami.
Detak yang awalnya tidak yakin dengan ucapan Fikri kalau dia bisa membantunya untuk mengerjakan tugas jurnalnya itu terpaksa harus mengakui kemampuan lelaki yang kini tengah menyeringai sombong padanya.
"Detak, gue lapar," kata Fikri berbisik di telinga Detak membuat gadis itu terperanjat kaget.
"Di dapur enggak ada makanan yang udah jadi, mau gue gorengin telur mata sapi gak?" jawab Detak.
"Boleh, tapi kuning telurnya yang mateng ya!" balas Fikri sedikit berteriak karena Detak sudah pergi ke dapur.
Tanpa Fikri ketahui, Detak tersenyum sendiri. Detak merasa kalau dia dan Fikri seperti pasangan suami istri saja. Memikirkannya saja sudah membuat Detak tersipu, apalagi kalau memang benar terjadi.
****
Fikri anyone?
KAMU SEDANG MEMBACA
Detak
Teen FictionBerawal dari satu malam ketika Detak membawa seorang lelaki ke dalam kosannya, tanpa disadari itu adalah awal mula dirinya membuka celah untuk lelaki itu masuk ke dalam kehidupannya yang sepi. Inilah cerita tentang Detak dan lika-liku kehidupannya.