"Ya Tuhan, muka lo pucet banget!" seru Melly kaget.
"Lo diapain lagi?" tanya Melly sambil menghampiri Fikri dan membantunya duduk.
"Perut gue sakit banget sampe mual," jawab Fikri sambil mengerang kesakitan.
Mendengar jawaban Fikri membuat Melly secara otomatis langsung menyingkapkan seragam Fikri untuk melihat keadaan perutnya. Matanya membelalak kaget melihat perut yang tidak seperti perut karena banyak warna disana, ada bekas lebam yang berwarna merah, ungu, hingga hitam.
"Fik, kita harus ke rumah sakit sekarang!" kata Melly panik.
"Ada apa Mel?" tanya Bobby dan Anton yang baru saja datang dari dalam warung sambil memegang secangkir kopi di tangan masing-masing.
"Fikri kesakitan, kita harus bawa dia ke rumah sakit cepet-cepet!" jawab Melly panik mencoba untuk tidak menangis.
Anton yang melihat pacarnya panik mencoba mengambil alih Fikri dari Melly, "Dimana yang sakit?" tanya Anton terdengar sangat tenang.
"Pe-perut," jawab Fikri terbata karena menahan sakit yang sudah tidak bisa dia sembunyikan lagi.
Anton menyingkapkan seragam Fikri untuk melihat perutnya agar bisa memikirkan apa yang harus dilakukan selanjutnya.
Berbeda dengan Bobby yang terkejut sekaligus ngeri, Anton hanya menghela napas pelan lalu dengan segera menelepon Dimas untuk segera datang ke warung kopi tempat biasa mereka kumpul.
"Lo bisa nahan sebentar lagi?" tanya Anton masih dengan nada yang sangat tenang.
Fikri mengangguk walau sebenarnya tidak yakin.
Diantara mereka semua, hanya Dimaslah yang sudah membawa mobil ke sekolah. Terpaksa mereka harus menunggu Dimas datang, Anton sudah menghitung dan membandingkan kemungkinan mana yang lebih cepat datang diantara Dimas atau ambulance. Dan hasil akhirnya jatuh pada Dimas.
***
Sudah lima hari setelah kejadian di rumah Dimas, Detak belum bertemu lagi dengan Bagas. Bukan berarti Detak tidak berusaha bertemu Bagas, hanya saja Detak sudah kehabisan akal untuk bisa bertemu dengan Bagas.
Sehari bisa sampai 5 kali Detak membunyikan bel apartemen Bagas dan tidak mendapatkan respon apapun. Entah sejak kapan Bagas merubah password apartemennya. Detak hampir menyerah sampai ide gila terbesit di pikirannya.
Gadis itu membuka pintu kaca kamarnya menuju balkon, dia tersenyum bangga pada otaknya yang dapat mengingat kejadian waktu dulu saat Bobby tiba-tiba mengetuk pintu kacanya itu dari luar.
Dengan sangat hati-hati, Detak memanjat pagar balkon dan mulai melangkah perlahan-lahan. Detak menyugestikan dirinya untuk tidak mencuri-curi lihat ke bawah. Angin malam hari di ketinggian 12 lantai memang tidak main-main, membuat adrenalin Detak terpacu.
Detak menghembuskan napas lega ketika sudah berhasil menginjakkan kaki di balkon apartemen Bagas dan langsung mendapati Bagas yang tengah duduk sambil menatap layar televisinya yang berwarna hitam alias mati.
Detak mengetuk kaca dan memanggil Bagas, tapi tidak ditanggapi sampai harus berkali-kali sampai nyaris menyerah. Bagas akhirnya menoleh namun pandangan matanya kosong, dia beranjak dari duduknya dan menghampiri Detak.
Detak yang kebingungan melihat reaksi Bagas hanya bisa tersenyum canggung juga hampir menyesali perbuatannya yang nekat demi bertemu dengan Bagas.
"Hai!" kata Detak saat Bagas membuka pintu kacanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Detak
Teen FictionBerawal dari satu malam ketika Detak membawa seorang lelaki ke dalam kosannya, tanpa disadari itu adalah awal mula dirinya membuka celah untuk lelaki itu masuk ke dalam kehidupannya yang sepi. Inilah cerita tentang Detak dan lika-liku kehidupannya.