19

9K 298 1
                                    


------------------------------------------------------

Maxel's POV

Seminggu sudah aku mempersiapkan untuk hari pengangkatan ku. Dan seminggu sudah aku membuat rencana untuk perusahaan kedepannya. Nanti malam adalah goal nya.

Aku mengenakan setelan jas hitam yang cukup elegan, ditambah sepatu pantofel yang mempermanis penampilanku. Jangan tanya, aku sudah tampan luar biasa.

Bukannya sombong, tapi terbukti saat aku memasuki gedung ini, banyak pasang mata yang menatapku kagum. Dan kebanyakan wanita menatapku dengan tatapan seakan menelanjangiku.

Saat pidato di depan, aku mengedarkan pandanganku kesana kemari. Dan tepat saat penutupan pidatoku, mataku bertemu dengan mata yang selama ini ku rindukan. Terlebih mata itu milik seseorang yang belakangan ini membuatku kacau.

Penyerahan terimaan jabatan pun di lakukan oleh papaku Hiley Gunawan. Setelah aku menerima, riuh tepuk tangan memenuhi gedung perayaan ini. Dan aku di tuntun oleh papaku untuk menempati tempat yang telah disediakan.

Namun seseorang itu hilang. Aku menyapukan mataku ke penjuru gedung perayaan ini, tapi tidak kutemui seseorang itu. Dan entah kenapa hatiku berkata bahwa dia sekarang ada di toilet.

"Pa, Maxel ke toilet bentar." Pamit ku yang hanya di balas dengan anggukan kepala oleh papa.

Aku berjalan menuju toilet terdekat. Ada beberapa wanita di toilet itu. Aku memutuskan untuk menunggu para wanita itu pergi. Setelah pergi, aku langsung masuk kedalam toilet itu. Ada satu bilik yang masih tertutup sempurna. Aku yakin Elda ada di dalam. Benar, seseorang yang ku maksud tadi itu adalah Elda.

"Gue tau lo ada di bilik toilet ini." Ucap ku dari luar.

Tidak ada jawaban. Elda hanya diam saja. Mungkin dia menghindar.

"Elda, buka pintunya dan keluar atau gue akan membukanya paksa dan melakukan apa yang ingin gue lakukan sekarang." Ucapku dengan nada yang sedikit ku tinggikan.

"Gue hitung satu sampai tiga, jika terbuka, maka akan gue lakukan." Ucap ku lagi.

"Satu..." Elda terdiam.

"Dua..." Elda masih terdiam.

"Tiga..."

"Iya gue keluar!" Teriaknya.

Boom! Aku yakin dia bakalan keluar. Padahal kalaupun tidak keluar, aku tidak tau harus melakukan apa. Kan pintu toilet ini super duper berkualitas. Mana bisa aku merusaknya dengan tangan kosong.

"Nah, gitu dong. Ayo!" Ajakku sambil mengulurkan tangan padanya.

Dia hanya diam. Aku menghela nafas berat.

"Sejauh apapun lo lari dari masalah yang lo hadepin, percuma. Karena masalah di buat untuk di hadepin, bukan di tinggal lari." Ucapku.

"Apa, sih!" Ucapnya sambil meninggalkanku. Tetapi aku berhasil mencekal tangannya.

"Lo gak bisa lari-lari terus. Karena lari gue lebih kenceng daripada lo. Buktinya lo lari waktu di Cambridge, dan gue bisa nemuin lo disini." Ucapku dengan bangga.

"Sekolah ngomong dulu aja sana. Ngomong gak jelas gitu." Ucapnya yang bikin aku pengen memakan mulutnya.

"Cabe di mulut dikurangin bisa? Pedes amat." Ucapku tak kalah pedasnya.

"Apaan sih! Hmmpptt--" ucapnya terpotong karena aku dengan segera mencium bibirnya.

***

Author's POV

The Coldest Romance [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang