24

6.7K 243 0
                                    


-----------------------------------------------------

Elda's POV

Pandangan macam apa itu. Jadi tujuannya sebulan ke Cambridge itu untuk menemui wanita sialan itu? Jadi ucapannya di telfon waktu itu ia ingin mencari tante girang itu ini?

Aku tidak bisa membendung air mataku lagi. Aku tidak bisa berkata apa-apa lagi. Setelah membuka pintu ruangan tadi aku hanya terkejut, diam, dan mematung.

Aku melihat adegan yang benar-benar menyayat hatiku. Walaupun itu hanya making out, tapi tetap saja itu menyakitkan hati.

Disaat aku masih terbengong di sana, suara bariton itu membuyarkan lamunanku.

"Apakah kau di bayar untuk menonton CEO yang sedang beraktivitas dengan calon istrinya?" Ucap Maxel tepat menusuk hatiku.

"Maxel?" Suaraku bergetar. Dan sedetik kemudian aku menangis sejadi-jadinya.

"Hei, bitch! Tidak sopan sekali kau memanggil CEO dengan langsung menyebut namanya. Dan apakah yang di katakan calon suami saya benar, kau di bayar untuk menonton aktivitas kami?" Ucap wanita itu sambil berjalan ke arahku.

"Siapa kau?" Tanyaku memberanikan diri.

"Bukankah tadi sudah jelas bahwa aku menyebutnya calon suami?" Jawab wanita itu yang sudah berada tepat di depanku.

APA? CALON SUAMI? Air mataku kembali mengalir dengan derasnya.

"Maxel, benar yang di katakan dia?" Tanyaku pada Maxel.

"Iya, dia calon istriku. Dan kau? Ngapain masih ada disini?" Ucap Maxel dengan nada super dingin dan datar.

"Aku kira saat aku nerima kamu sebulan yang lalu, kamu serius sama aku. Ternyata aku salah. Seharusnya dari awal setelah 'kecelakaan' itu terjadi, aku harus benar-benar pergi darimu. Seharusnya dulu aku tidak memenuhi permintaan Lili untuk ke club. Sehingga aku tidak akan pernah mengenalmu. Aku benci sama kamu!" Ucapku mengeluarkan semua unek-unek ku.

"Aku juga tidak pernah mengenalmu, jadi pergilah. Kau tidak di butuhkan disini." Dan setelah kata-kata itu keluar dari mulutnya, aku langsung berlari sekencang-kencangnya meninggalkan ruangan itu.

Saat di lorong, Tedy dan Adira menahan tubuhku. Aku meronta ingin di lepaskan. Untuk saat ini aku tidak ingin membahas apapun. Semua ini cukup menyakitkan. Aku ingin menyendiri. 'Kak Nana, aku butuh kakak.' batin ku sambil menangis.

"Elda.. Elda.. Lo kenapa, El? Kenapa lo nangis?" Tanya Adira menahan tubuhku.

"Lepasin, gue pengen sendiri." Ucapku sambil meronta.

"Ini tidak seperti yang lo bayangin, El. Gue bisa jelasin semua dari awal." Ucap Tedy yang juga menahan tubuhku.

"Gue bilang lepasin!! Gue pengen sendiri!" Teriak ku masih sambil menangis.

Dengan cekatan, Tedy memelukku. Sejenak aku merasa nyaman. Aku memukuli dada bidang Tedy sambil meronta, sedangkan Adira mengelus rambutku.

"Lepasin gue, Ted. Lepasin gue." Ucapku di tengah sesenggukan.

"Lepasin dia, Ted!" Ucap seseorang dengan nada dingin dari arah belakangku.

Reflek, Tedy melepaskan pelukannya dan berjalan kearah Maxel. Kesempatan ini aku gunakan untuk pergi dari sini. Tidak peduli apa yang akan di lakukan oleh Tedy pada Maxel.

Namun samar-samar aku mendengar Tedy mengucapkan.

"BANGSAT LO, MAX!" itu suara Tedy.

Dan lainnya hanya suara orang berantem yang terdengar. Aku memejamkan mata sejenak yang kemudian pergi dan pulang. Aku ijin kerja setengah hari untuk hari ini.

***

Hari-hari yang aku lewati terasa hampa. Mulai dari Maxel yang sampai sekarang masih mengacuhkanku, aku yang terusik dengan permohonan Tedy untuk menjelaskan semua, hingga kesehatan badanku yang mulai turun.

Iya, aku memutuskan untuk tidak mendengarkan penjelasan Tedy. Karena aku berfikir bahwa di jelaskan atau tidaknya aku kan tetap tersakiti. Jadi lebih baik aku tidak tau.

Aku sudah menceritakan semuanya pada kak Nana. Awalnya kak Nana menyuruhku untuk keluar dari perusahaan itu dan bekerja di perusahaan kak Gaga. Tapi aku tidak mau.

Pada akhirnya kak Nana memberi saran agar aku menganggap semua masalah ini adalah tikungan dan kerikil dari lurusnya dan mulusnya jalan kehidupan. Tuhan memberi cobaan tidak mungkin melebihi batas kemampuan. Pasti ada hadiah di balik ini semua.

Jadi disinilah aku berada. Ruangan yang di berikan oleh orang tua Maxel. Yang harus aku genggam dengan segala bentuk tanggung jawab.

Tidak peduli dengan sikap Maxel terhadapku. Tidak peduli dengan tatapan tajam dari wanita ular itu. Sepertinya aku akan kembali menjadi Elda yang dingin, acuh, tidak peduli dengan sekitar, dan cuek.

Tok...Tok...Tok...

Pintu ruanganku terketuk. Sejenak aku mendongakkan kepala. Memeriksa penampilanku. Apakah aku terlihat mengerikan atau tidak?

"Masuk." Ucapku setelah memastikan penampilanku baik-baik saja.

Knop pintu ruanganku terputar dan dengan segera menampilkan sosok wanita yang membuat diri ku hancur. Bahkan aku tidak tau namanya.

"Hai, Elda!" Sapa nya. Aku hanya memutar bola mataku saja.

"Ada yang bisa saya bantu." Ucapku masih dengan ramah. Ini memang tuntutan kantor. Kita harus ramah kepada siapa saja. Barang kali wanita ular ini adalah customer.

"Bicara santai saja, aku hanya ingin mengobrol sedikit denganmu." Ucap wanita ini.

"Jika tidak penting, silahkan anda keluar. Karena pekerjaan saya masih banyak." Ucapku sambil kembali mengerjakan pekerjaanku. Sedangkan dia hanya tersenyum.

"Sebelumnya biarkan ku kenalkan namaku. Aku Kayt. Seperti yang kau tau aku adalah calon istri Maxel." Ucapnya. Dan aku hanya meliriknya malas saat ia menekan kata 'calon istri'.

Aku tetap mengacuhkannya. Tidak ada sedikitpun niat untuk menanggapi omong kosongnya.

Tiba-tiba dia menyerahkan undangan kepadaku.

"Aku dan Maxel akan segera menikah. Jadi menyingkirlah dari hidup Maxel. Buang saja mimpimu yang mengaku sebagai pacarnya." Ucap Kayt dengan pedasnya.

Aku harus menahan emosiku. Anggap saja ini kerikil yang ada di jalan hidupku.

Aku memejamkan mata sejenak. Menarik nafas sedalam mungkin untuk mengurangi rasa sesak di dadaku.

"Jika tidak ada yang di bicarakan lagi, silahkan keluar." Ucapku sedatar dan sedingin mungkin.

"Baiklah. Kami mengharapkan kehadiranmu." Ucapnya dan pergi meninggalkan ruanganku.

Aku menatap nanar undangan itu. Disana tertera nama Maxel dan Kayt. Pupus sudah harapanku. Aku sadar bahwa Maxel bukan yang terbaik untukku.

'Baiklah, aku pergi.' ucapku sambil meremas undangan itu.

***

To be continue...
-------------------------------------------------------

Jangan lupa vote dan komen❤

Vote dan comment adalah semangat author untuk terus berkarya 😘😍

Makasih💞

The Coldest Romance [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang