Bab 10

17.9K 1.3K 12
                                    

Peluh terus turun membanjiri wajah Alya. Sudah beberapa kali dia menyeka tapi peluh itu terus turun. Bibirnya terus menggerutu, dan mengumpat untuk cowok yang membuat dia seperti ini. Ryan. Cowok itu sudah masuk dalam blacklist teratas cowok yang paling dia benci di sekolah ini. Dia menunduk lagi sambil menyeka peluhnya. Matahari mulai berada di atas, menyebarkan panas yang sangat menyiksa. Alya terengah-engah, nafasnya tidak teratur

Sayup-sayup dia mendengar ejekkan, membuat dia menoleh ke arah sekumpulan cewek yang tak jauh dari dirinya. Dia berdecih, saat tahu siapa yang diejek oleh mereka. Cowok cupu yang tengah membawa tumpukan buku. Siapa lagi kalau bukan Erlang. Satu-satunya anak cupu yang ada di sekolahnya. Alya sendiri tak tahu kenapa Erlang bisa dicap sebagai anak cupu, karena dia jarang bersosialisasi dengan murid lain kecuali dengan tumpukan buku dan tak jarang dengan seorang cowok yang Alya tidak tahu siapa namanya. Meski sifat Erlang menyebalkan, tapi dia merasa kasihan karena dibully oleh Ryan. Mengingat cowok kurang ajar itu membuat darahnya mendidih saking kesalnya.

Tiba-tiba kening Alya mengernyit. Kenapa dia mendadak memikirkan si Erlang. Daripada dia memikirkan cowok itu, lebih baik dia memikirkan nasibnya sendiri. Kapan dia berakhir dari hukuman mengelilingi lapangan seperti ini. Dan kenapa jam istirahat belum terdengar juga. Ini baru putaran ke tiga dan sukses membuat tenaganya terkuras habis. Dia menegakkan tubuhnya, menyeret kakinya melanjutkan hukuman yang menyengsarakan ini. Untuk saat ini dia benar-benar berharap ada cowok baik yang datang dan membantunya terbebas dari hukuman ini, seperti dalam novel yang ia baca.

Alya terus berlari dengan kakinya yang sudah lemas. Bibirnya mencebik ketika mendengar dan melihat tatapan yang mengarah padanya. "Kayak nggak pernah ngeliat orang dihukum aja," gerutunya sambil membuang muka. Sialan, kalau bukan karena Ryan kampret dia nggak akan ada disini.

"Kerajinan amat lo olahraga pagi-pagi,"

Celetukkan itu membuat Alya berhenti berlari. Sepertinya dia kenal dengan suara itu. Kepalanya ditolehkan kebelakang dan dia langsung mencibir ketika dugaannya benar. Erlang.. Cowok yang sempat dia pikirkan.

"Berisik lo." Alya kembali menoleh ke arah semula. Kenapa dari sekian orang yang dia kenal harus cowok itu yang menghampirinya. Sepertinya memang kehidupannya tidak bisa seperti novel yang ia baca. Bukannya mnedapatkaan penolong dia mendapatkan perusak suasana. Salah satu yang masih tidak bisa dia mengerti. Kenapa di depan orang lain Erlang bersikap culun seculun-culunnya. Sedangkan, di depan dia cowok itu menyebalkan setengah mati.

"Oh jangan bilang lo dihukum? Bisa juga ya cewek macam lo dihukum," ejek Erlang dengan senyum meremehkan. Keningnya mengernyit saat melihat Alya menoleh dan memberikan tatapan tajam padanya. "Kenapa? Omongan gue bener kan? Nggak nyangka aja, lo mukanya baik-baik ternyata bisa nakal juga."

"Sialan." Kali ini Alya membalikkan tubuhnya, menghadap sempurna pada Erlang. "Mulut lo emang perlu gue hajar ya. Enak aja bilang gue nakal. Semua ini gara-gara Ryan tahu nggal. Gara-gara dia gue dihukum lari lapangan."

"Ryan?" Erlang membeo. Eskresinya berubah seketika. Tangannya kini ia bawa menyilang di depan dada. "Emang Ryan ngapain lo? Lo ada masalah apa sama Ryan?"Erlang menatap Alya dengan pandangan tajam. Berbeda dengan beberapa waktu yang lalu. Tatapan yang menyiratkan sesuatu.

Alya memincingkan matanya. "Menurut lo gimana?" Sungutnya kesal. "Gue kesel banget sama tuh orang. Emang salah gue tolongin lo waktu itu sampai gue harus jadi target dia. Pingin gue hajar tuh cowok."

Mata Erlang melebar. "Target? Target apaan? Lo kalau ngomong yang jelas," sergah Erlang kesal. Debaran jantungnya kini meningkat. Dia tak suka dengan apa yang di dengarnya. Target? Jangan sampai apa yang ada dikepalanya benar terjadi.

Alya✔ (Sudah diterbitkan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang