"Abang balikkin novel Alya," teriak Alya kesal sembari berlari mengejar Arya. Dia melompat-lompat kecil mencoba menggapai novel miliknya dari Arya. "Abang, ih. Balikkin," pintanya sambil terus melompat. Dia menggerutu saat tak juga dapat meraih novelnya. Nasib orang pendek gini nih, pikirnya.
Semakin tinggi Alya melompat, semakin tinggi pula Arya mengangkat tangannya. Laki-laki itu membolak-balik novel milik Arya, sesekali membaca blurb dibelakang novel itu. Dia mengangkat tangannya, menaruh tangannya pada kening Alya. Menahan kepala Alya yang ingin menyeruduk dirinya. "Pantes hidup kamu drama nggak jelas, bacaanmu kayak gini," kelakar Arya.
"Dih siapa bilang. Hidup abang tuh yang penuh drama," sewot Alya tak terima. Tangannya lagi terangkat, mencoba menggapai novelnya. "Abang ih, suka banget sih gangguin Alya. Alya tahu Alya ngangenin, jadi tolong nggak usah narik perhatian kayak gini." Bodo amatlah dengan perkataannya yang agak menjijikkan, sekali-sekali tak apalah.
Kening Arya mengernyit. Dia menoyor kepala Alya tanpa belas kasihan. "PD bener kamu jadi cewek. Mending kangenin yang lain daripada kamu. Udah jelek, pendek, nggak ada untungnya," ucap Arya santai. Dia tidak perduli dengan Alya yang sudah menampilkan wajah yang memerah.
Meski sudah beberapa kali dia mendengar perkataan itu dari Abangnya, dia merasa sakit hati dan tidak rela. Kalau boleh dia membicarakan tentang dirinya sendiri, Alya tidak begitu pendek-pendek amat, kurus nggak kurus-kurus amat, bisa dibilang dia agak berisi bukan kayak gitar spanyol atau model-model di luar sana. Intinya itu, dia standar. Mulut abangnya itu sepertinya enak di ulek-ulek pake cobek.
"Kalau Alya jelek, abang apa? Kita kan lahir dari rahim yang sama." Alya menatap menantang Arya. Enak aja, sekali-kali dia harus melawan.
Arya tertawa sinis. Dia bersidekap, memandang Alya dengan tatapan menyebalkan. Dan itu membuat Alya merasa tidak beres. Alis Arya naik sebelah sebelum menjawab. "Lahir yang sama tapi waktu yang berbeda. Kalau abang kayak kamu, mantan abang nggak banyak. Lah kamu?" Arya menunjuk dan memandangnya remeh. "Pfftt."
Emosi Alya sudah di ubun-ubun. Abangnya ini benar-benar ya. Memang salah siapa kalau dia tidak punya pacar sampai saat ini. "Kalau gitu kasih izin Alya buat punya pacar. Biar Alya bisa buktiin kalau Alya nggak jelek," ujarnya penuh kekesalan.
Ekspresi Arya langsung berubah. Raut wajahnya datar seperti triplek. "Nggak," tolak Arya tegas. Dia mengangkat novel milik Alya lagi sambil berkata, "Beliin abang cimori rasa strawberry. Nggak pake lama. Sampe lama, novel kamu abang bakar." Setelah itu Arya berbalik meninggalkan kamar Alya.
"Bang Arya lama-lama Alya tuker tambah beneran abang?!!!" teriaknya mengucapkan apa yang ada dipikirkannya. Lihat siapa yang buat dia tidak bisa mendapatkan pacar ataupun gebetan. Selalu setiap dia membahas mengenai pacar abang atau ayahnya selalu menolak dan langsung mengucapkan hal lain. Alya menghentakkan kakinya kesal sebelum berbalik. Daripada memikirkan gebetan, lebih baik dia memikirkan keselamatan novelnya yang ada ditangan Arya.
*****
Alya memperhatikan deretan minuman yang ada di lemari es di depannya dengan teliti. Di tangannya sudah ada keranjang berwarna kuning dengan beberapa jajanan yang dia inginkan. Setelah meminta uang jalan sama Arya ditambah ancaman untuk tidak melakukan hal yang tidak baik pada novelnya, dia langsung melesat ke minimarket dekat kompleks perumahannya.
"Cimory rasa strawberry ya?" gumamnya seraya membuka pintu dan mengambil pesanan abang terlaknatnya. Astaga, maksudnya tersayangnya, ralat Alya. Meski dia sebal setengah mati pada Arya, dia tidak boleh menghujat abangnya dengan kata yang kejam, kecuali tidak sengaja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Alya✔ (Sudah diterbitkan)
Teen FictionAlya tak pernah sadar bahwa menolong sesorang membuat dia harus terjebak oleh permainan yang sangat menyebalkan. Terlebih lagi, orang yang ditolongnya adalah salah satu orang menyebalkan yang selalu membuat dia kesal. Tapi, suatu malam Alya tau akan...