BAB 19

14.5K 1K 25
                                    

Banyak hal yang membuat dua orang memilih untuk membungkam bibirnya rapat-rapat. Banyak hal yang membuat mereka memilih untuk merasa dirinya hanya sendiri di sana, dan banyak hal yang membuat mereka memilih untuk menyalakan radio dibandingkan harus membuka suara. Alya dan Erlang. Keduanya diam membisu, fokus dengan pemikirannya sendiri.

Alya melirik ke arah Erlang. Dia bertanya-tanya, sebenarnya ada apa? kenapa ekspresi Erlang berubah menjadi kaku setelah bertemu dengan bapak-bapak tadi? Rasa penasarnnya sudah menumpuk. Bibirnya sudah gatal ingin bertanya, tapi dia tahan. Karena kali ini dai bisa merasakan bahwa Erlang berbeda dari Erlang biasanya. Raut wajahnya kaku, tak ada senyuman sedikit pun. Dan juga kenapa dia merasa perduli pada Erlang.

Lantunan lagu surat untuk starla memenuhi mobil milik Erlang, memecah kesunyian yang ada di keduanya. Tanpa sadar bibir Alya mulai bergerak sendiri, mengikuti lagu yang dinyanyikan oleh Virgoun. Beberapa bait lagu sudah dia nyanyikan, membiarkan suaraya ikut meramaikan mobil. Dia masih belum sadar, sampai suara deheman dari sebelah menyadarkannya. Dia membungkam mulutnya langsung. Malu-maluiin amat sih lo Al.

"Sorry," cicitnya. Dia benar-benar tidak berani melirik ke arah Erlang. Malunya pake banget.

"Lain kali jangan nyanyi. Ngerusak lagu," kata Erlang yang melirik Alya dari ekor matanya. Tangannya terampil mengganti gigi. Wajahnya masih memandang ke arah depan, fokus dengan jalanan yang ramai.

Bibir Alya manyun. Dia memandang Erlang sebal. "Kalau nggak mau dengerin ya nggak usah dengerin," serunya. Enak saja dia bilang ngerusak lagu, itu sama saja mengatakan suaranya jelek. Hei, suaranya itu meski nggak terlalu bagus, nggak jelek juga.

"Mobil siapa?"

"Mobil lo. Au ah males gue." Alya memalingkan wajahnya. Bukan marah, melainkan malu. Kenapa dia bisa lupa kalau mobil ini milik Erlang?

"Ngambekkan banget. Gimana mood lo? Udah baikkan?" Alya mendesah, lalu mengangguk. "Gue nggak bisa bahasa isyarat. Lo punya mulut kan, ngomong," kata Erlang tanpa belas kasihan. Dia mengucapkan itu tanpa melirik atau menoleh ke arah Alya, matanya masih fokus pada

Wajah Alya merengut kesal. Cowok ini benar-benar, sekali tidak membuatnya darah tinggi, sepertinya tidak bisa. "Terserah gue dong. Kalau lo nggak ngerti ya udah diem," ujarnya ketus. Tangannya bersidekap. Matanya memandang lurus ke depan. Seharusnya tadi dia tidak perlu khawatir dan penasaran pada Erlang. Karena pada kenyataannya cowok itu tidak akan berubah sama sekali, tetap menyebalkan.

Erlang tersenyum tipis. Tangannya menepuk kepala Alya sejenak dan bergegas menarik kembali tangannya. Dia melirik sekilas ke arah Alya yang ternyata memberikan pelototan kepadanya. "Lo ngambekkan ya jadi cewek," ledeknya, membuat Alya mendengus. "Sebenarnya gue mau bawa lo jalan, tapi mood gue mendadak nggak bagus gara-gara ketemu dia." Erlang mengatakan kata dia dengan nada tidak suka yang terlihat jelas. Meski Alya tidak tahu sorot mata Erlang menyiratkan apa, tapi dia bisa melihat rahang Erlang mengeras.

"Dia itu siapa lo Lang?" pertanyaan itu tiba-tiba meluncur dari bibir Alya. Dia baru sadar saat kalimat itu sudah keluar. Dia menggigit bibir bawahnya,matanya memandang Erlang tak enak. Dia menunggu jawaban dari Erlang dengan debaran jantung menggila.

Erlang tak menjawab pertanyaan itu. Bibirnya tiba-tiba bungkam, membisu. Dia adalah seseorang yang paling dibenci dalam hidupnya. Dia adalah seseorang yang membuangnya, dan dia adalah seseorang yang membuat sebuah luka di dalam hatinya. Semua itu diucapkan oleh Erlang dalam hati. Karena bibirnya terasa berat untuk berbicara.

Alya✔ (Sudah diterbitkan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang