Rasa itu hadir karena terbiasa, dan ketika rasa itu menyelinap ke dalam relung hati, suka atau tidak suka dia sudah menjadi bagian kehidupanmu.
Senin. Satu kata dan hari dimana bagi kebanyak orang adalah mimpi buruk. Hari dimana banyak siswa mengeluh, menggerutu saat perjalanan ke sekolah berharap minggu cepat datang dan hari dimana banyak siswa memilih untuk mencari cara agar bisa diam di dalam kelas. Berusaha untuk tidak berdiri di tengah lapangan, di bawah sinar mentari yang semakin lama semakin menyengat.
"Kenapa harus ada senin di antara minggu dan selasa sih," gerutu Indah teman kelas Alya yang kini tengah merapikan poninya.
"Coba lo tanya kenapa ada dia di antara kita?" timpal Arga sambil menunjukkan tampang menggoda.
"Karena lo nggak pantes bersanding dengan dirinya," lanjut Asta, sedangkan Indah memutar bola matanya malas mendengar perkataan teman laki-lakinya.
Semua tak ayal tertawa mendengar celetukkan mereka. Begitu juga dengan Alya dan Mita yang mendengarnya. Mereka berdua geleng-geleng kepala, mengingat betapa gilanya teman-teman mereka pagi ini.
"Daripada lo baper nggak jelas. Coba lo bantu gue mikir gimana bisa terlepas dari upacara itu," seru Satria yang dengan santainya duduk di atas meja.
"Wah, ketua kelas kita nakal ya, mau bolos."
Satria mendengus. "Bacot lo, kayak lo pada nggak males aja upacara," katanya yang langsung tepat sasaran.
"Tumben banget lo jadi nakal kayak gini," tanya Rahmat yang berada di samping Satria.
Satria tidak langsung menjawab. Wajahnya ditekuk, terlihat lipatan pada keningnya. Cowok itu tengah berpikir keras. Seakan pertanyaan Rahmat, adalah pertanyaan Ujian Nasional yang membuat kepala berdenyut sakit, lelah berpikir.
"Sebenarnya nggak ada alasan klise sih. Cuman, lo tahu kan serajin-rajinnya manusia, sebaik-baiknya manusia, ada titik jenuhnya. Dan kali ini gue lagi dalam titik jenuh."
"Bilang aja lo males, onyet," umpat Asta.
"Kayak lo ngak males aja Ta."
Asta mengangguk. Dia bangkit, berjalan ke arah pintu. Kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri melihat beberapa orang yang sudah keluar dari kelas dan menuju ke lapangan. "Gue sebenarnya males. Mana panas, kulit gue yang putih ini, bisa menghitam. Tapi karena gue anak yang berbakti, jadi gue harus ikut upacara, keren kan gue."
"Najis," ucap mereka serempak.
"Najis juga lo pada mau. Ya kan Al?" Asta menyebutkan nama Alya yang sejak tadi diam. Sebelah matanya bahkan berkedip ke gadis itu.
Alya bergidik ngeri. "Kok gue dibawa-bawa sih," serunya tak terima. Alya memandang Asta dengan sebal. Pura-pura sebal tepatnya.
"Nggak usah bohong gitu neng Alya. Aa' tahu kok kalau neng Alya suka."
"Nggak ya nggak." Alya bangkit dari kursinya. Ini anak kok gemesin ya. Saking gemesnya pingin Alya injek-injek. Dia berjalan menjauhi bangkunya, dia sudah tak tahan dengan ke adaan kelas. Apapun yang mereka bicarakan, tak jarang Alya dibawa ke dalamnya. Memang salah Alya apa, hingga dibawa ke dalam percakapan men
"Eh oneng, topi lo mana?" teriak Mita mengingatkan Alya yang sudah siap berada dekat dengan pintu.
Alya menoleh, lalu menepuk keningnya sendiri. Dia berjalan kembali ke arah tempat duduknya, membuka tasnya, mencari topi yang dimaksud. "Ini." Alya menunjukkan topinya pada Mita sebelum memakainya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Alya✔ (Sudah diterbitkan)
Teen FictionAlya tak pernah sadar bahwa menolong sesorang membuat dia harus terjebak oleh permainan yang sangat menyebalkan. Terlebih lagi, orang yang ditolongnya adalah salah satu orang menyebalkan yang selalu membuat dia kesal. Tapi, suatu malam Alya tau akan...