Alya memperhatikan penampilannya sekali lagi. Rambutnya kali ini masih sama seperti hari-hari sebelumnya, hanya digerai setelah disisir tanpa diberikan apa-apa. Bajunya sudah di setrika rapi. Hari ini dia harus menyelesaikan misinya, apapun itu. Kemarin, hari dimana ia merasa merasa bersalah pada Ryan dan Elrang. Tentu kesalahan pada dua cowok itu berbeda. Cowok itu tak seperti apa yang terlihat di sekolah. Dan dia menyesal sudah menyalahkannya. Alya mengambil tas dan keluar dari kamarnya. Ada rencana yang dia harus lakukan hari ini.
Wanita berbaju putih abu itu meneruni tangga dengan perlahan. Dia terus berpikir dan memastikan bahwa rencana yang dia susun berhasil. Alya berbelok ke kanan untuk sarapan bersama keluarganya. Hal wajib yang harus mereka lakukan kecuali ada hal penting yang membuat mereka tidak berkumpul satu sama lain. Karena kalau tidak, Bundanya akan mengomeli mereka dengan panjang.
"Pa..gi." Langkah Alya terhenti. Senyuman riang yang sempat dia berikan langusung menghilang, digantikan dengan raut wajah kaget. Jantungnya berdebar. Sejak kapan cowok itu masuk ke dalam rumahnya.
"Kenapa kamu berdiri di situ terus? Mau jadi penjaga rumah?" tanya Arya sambil memandangnya dengan pandangan menjengkelkan. Arya menggerutu. Andai saja dia punya keberanian, pasti sudah dia pukul tuh mulut.
"Sayang, ke sini. Kita sarapan bareng, ada Erlang juga. Kenapa kamu nggak kasih tahu Bunda kalau kamu sama Erlang pacaran?" Tari memberikan tatapan menggoda pada Alya, senyum yang dikeluarkan sang bunda terlihat lembut tapi Alya tau ada sesuatu di balik senyuman itu.
"Sini Al. Ayah bahkan udah tanya kapan Erlang nikahin kamu."
Wajah Alya mendadak memerah. "Ayah!" pekik Alya. Dia tidak percaya, astaga. Dia ini masih SMA, mana belum lulur juga. Udah bahas-bahas nikah.
"Papa becanda, kamu serius amat. Sini cepet duduk, kamu aja ditunggu dari tadi." Ganendra meraih cangkir kopinya, dan menyesapnya pelan.
Bibir Alya manyun. Dengan kesal dia mendekat ke arah keluarganya. Dia menarik kursi di samping sang Bunda, tepat di depan Arya. Kakaknya tak henti-hentinya memberikan senyum mengejek padanya. Membuat dia semakin kesal.
"Kamu kenapa udah di sini?" Alya mengambil roti tawar dan langsung mengoleskannya dengan selai cokelat yang tak jauh dari sana. Sambil terus menunggu jawaban Erlang. Dia memakan roti itu. Matanya lurus memandang Erlang yang juga memadangnya. "Kenapa?" tanya Alya yang tak kungjung mendapatkan jawaban.
Erlang tertawa kecil, sambil menggeleng. "Kamu masih anak-anak atau udah SMA? Makannya celemotan.
Alya langsung menghentikan makannya. Dia melirik tajam ke arah kakaknya yang terkekeh mendengar perkataan Erlang. Ayahnya terlihat membuang muka, dan Alya tau bahwa Ayahnya sedang menahan tawa. Astaga. Dia mengusap semua sudut bibinya yang kemungkinan terdapat selai cokelat di sana. Maatanya melotot ke arah Erlang yang masih memperhatikannya. Malu sih, tapi kesel juga.
"Makanya Al, jadi cewek kaleman dikit. Makannya anggun, jangan kayak anak kecil," tergur Ganendra. "Sakit yang," keluhnya saat Tari mencubit pahanya.
"Kamu ini. Lagian, nggak masalah dia mau anggun apa nggak. Yang penting jadi diri sendiri. Erlang juga lebih suka cewek yang suka jadi dirinya sendiri kan?" Tari menoleh ke arah Erlang.
"Iya Tante, ngapain cari cewek anggun yang cuman di depan, nanti kalau udah di belakang berlawanan."
"Tuh kan." Tari menjentikkan jemarinya, kepalanya ditolehkan ke arah samping. "Nggak apa-apa Al kalau kamu makannya masih celemotan, yang penting jadi dirimu sendiri, Erlang tetep suka kok."
KAMU SEDANG MEMBACA
Alya✔ (Sudah diterbitkan)
Teen FictionAlya tak pernah sadar bahwa menolong sesorang membuat dia harus terjebak oleh permainan yang sangat menyebalkan. Terlebih lagi, orang yang ditolongnya adalah salah satu orang menyebalkan yang selalu membuat dia kesal. Tapi, suatu malam Alya tau akan...