Selamat membaca dan semoga terhibur
"Nih, Lang." Tatang memberikan sebotol air minum pada Erlang yang tengah mengusap rambut basahnya dengan handuk.
"Thanks." Erlang menerimanya, menaruhnya di samping dan kembali mengusap rambutnya sejenak.
Tatang mengambil tempat di samping Erlang, dia menatap lurus kedepan. Dua orang itu mendadak diam.
Teriakkan terdengar pada lapangan badminton yang ada di depannya. Bukan teriakan yang aneh-aneh hanya teriakkan karena semangat ingin mengalahkan. Mereka saat ini baru selesai menyelesaikan ekskul bulu tangkis. Meski sudah selesai, masih banyak orang yang tetap bermain di sana. Seakan kurang puas dengan apa yang dikatakan
Erlang yang merasa aneh denagn situasi yang ada, menoleh dengan kernyitan dahi. Memperhatikan Tatang yang tidak secerewet biasanya.
"Kenapa lo?" tanyanya sambil mengambil botol air minum yang tadi diberikan oleh Tatang padanya. Menegak isinya beberapa kali, menghilangkan rasa haus yang sejak tadi menderanya. Dengan air yang masih dia kembali membas kepalanya, membiarkan air itu merembes ke sela-sela rambutnya dan jatuh ke tanah. Membuat rambutnya lepek karena air.
"Gue lupa bayar air."
"Ya bayar lah," jawab Erlang sambil mengusap rambutnya untuk kesekian kalinya.
"Masalahnya, gue nggak ada uang."
Erlang tak langsung menanggapi dia meletakkan handuk ke dalam tas, bergabung dengan barang yang ia bawa, memakai kemeja yang sudah ia siapkan dari rumah, menutupi baju ekskul sekolahnya. "Berapa?"
"Heh? Apanya?"
Kali ini Erlang mencoba sabar.
"Lo butuh berapa buat bayar air?" Erlang memakai tasnya sambil berdiri. Dia sudah siap-siap untuk pulang. Kini dia langsung menoleh secara penuh ke arah Tatang yang masih duduk. Sorot matanya terlihat serius. Dan itu membuat Erlang penasaran dengan apa yang dikatakan oleh Tatang.
Tatang, salah satu sahabatnya yang sudah dia kenal lama. Salah satu orang yang selalu ada di sampingnya, tanpa dia suruh untuk tetap di sana. Tatang bisa dikatakan anak dari orang yang berada, dan ketika mengatakan tidak ada uang untuk bayar air, di sana Erlang merasa aneh.
"Lo beneran mau bantuin gue?" kali ini sepasang mata cokelat menatap Erlang.
Erlang mendengus, dia mengangguk tanpa bersuara. Baginya. Tak masalah untuk mengeluarkan uang untuk orang yang selalu ada untuknya. Meski begitu, ada terbesit keanehan saat mendengar itu semua, apa orang tua Tatang dia mengalami kebangkrutan? Dia tidak bertanya biarkan Tatang yang menceritakannya, meski Erlang tidak yakin bahwa dia mendengarkan seperti orang lain mendengarkan cerita.
"Lo nggak tanya gue bayar air dimana?"
Kerutan langsug muncul di kening Erlang. Dia tidak berbicara, menunggu kelanjutan perkataan Tatang.
"Gue belum bayar air di monopoli."
"Tai," umpat Erlang dan langsung beralalu begitu saja. Waktunya sudah hilang karena menanggapi tingkah Tatang. Seharusnya dia sadar kalau Tatang sangat jarang untuk bersikap serius. Erlang sudah menunjukkan ekspresi yang sering dia tunjukan, dingin dan menyebarkan aura jangan diganggu.
Waktu pelajaran dan aktivitas utama sekolah telah usai beberapa jam yang lalu, kini sekolah yang seharusnya sepi, terlihat ramai karena beberapa eksul yang ada di sekolahnya. Di lapangan ada ekskul basket, pramuka, dan yang lainnya, sedangkan diruangan, samar-samar ia bisa mendengar dari ruangan yang tadi sempat ia lewati, ada orang yang tengah berpendapat, mungkin saja antara eksul mading, atau jurnalistik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Alya✔ (Sudah diterbitkan)
Teen FictionAlya tak pernah sadar bahwa menolong sesorang membuat dia harus terjebak oleh permainan yang sangat menyebalkan. Terlebih lagi, orang yang ditolongnya adalah salah satu orang menyebalkan yang selalu membuat dia kesal. Tapi, suatu malam Alya tau akan...