Megah. Adalah kata yang paling sempurna untuk menggambarkan nada yang aku mainkan sekarang. Jemariku bergerak lincah di atas senar Cello-ku, untaian nada rumit Brandenburg Concerto dari Bach menggema dan menarik seluruh perhatian penonton ke atas panggung. Mereka menikmatinya, mereka mengaguminya. Penontonku sejak aku berusia dua belas tahun adalah pria dan wanita dengan usia di atas lima puluh, usia di mana musik klasik adalah sebuah pilihan yang tepat untuk membunuh rasa bosan karena telinga mereka terlalu tua untuk mendengar musik bising hard rock atau musik disko yang berdentum.
Aku memejamkan mataku, merasakan setiap nada yang kumainkan dan menarik semua penontonku untuk hanyut dalam permainanku. Dan ketika musik kami sampai di bagian coda kami menyelesaikannya dengan sangat spektakuler, gemuruh tepuk tangan meriah menyambut kami. Aku tersenyum sambil menyapukan pandanganku ke bangku penonton di gedung teater ini, menatap satu persatu pengunjung yang usianya mungkin sama dengan orang tuaku. Memberikan senyuman terbaikku sebagai tanda berterima kasih kepada penonton di barisan paling depan karena hanya mereka yang bisa kuberikan kontak mata. Aku berdiri dari tempat dudukku dan membungkuk bersama temanku yang lain sebelum turun dari panggung dengan membawa Cello besarku."Kerja bagus malam ini Jill."
Aku menoleh ke belakang saat mendengar suara itu dan aku mendapati Will Anderson -pianis kami- yang tersenyum padaku. Mata biru cerahnya menatapku dengan ceria dan sebutir keringat meluncur di atas kulit putih pelipisnya.
Aku meletakkan Cello ku dan membalas senyumannya.
"Seperti malam-malam sebelumnya." Aku menanggapi.
"Benar." Will tertawa kecil. "Err... kau akan langsung pulang?"
"Ya, setelah berganti baju."
"Aku hanya ingin tahu apa... apakah kau... apa kau mau minum kopi bersamaku malam ini?"
Aku menatapnya. Dia terlihat gugup dan itu tidak bisa disembunyikan sama sekali. Will memang menyukaiku, aku banyak mendengar gosip tentang itu. Aku tidak pernah benar-benar memercayai berita itu karena aku hanya menganggapnya seorang teman, dia pria yang baik. Tapi setelah malam ini dia mengajakku kencan, sekarang aku yakin berita itu benar. Aku adalah tipe orang yang profesional dan aku tidak ingin punya hubungan asmara dengan rekan kerjaku, karena aku yakin saat hubungan itu tidak berakhir dengan baik maka salah satu dari kami harus rela kehilangan pekerjaan.
Will masih menatapku dengan gugup dan aku baru sadar ternyata aku diam terlalu lama.
"Ah... sebenarnya... besok aku mengajar dan itu jam tujuh pagi. Kupikir sekarang bukan waktu yang tepat untuk minum kopi." Aku menjawab. Penolakan halus.
"Oh, ya tentu saja. Tidak apa-apa. Itu benar sekarang bukan waktu yang tepat, aku lupa kau punya kelas setiap sabtu pagi," Will menanggapi. "Kita bisa pergi lain waktu."
Aku hanya tersenyum mendengar kata-katanya lalu masuk ke ruang ganti wanita di belakangku, aku menepuk bahu Will sebelum menutup pintu.
Aku menghela napas dan langsung berjalan menuju barang-barangku. Mengganti gaun merah tanpa lengan ini dengan bajuku, melepas gelung rambutku, menghapus lipstik merah di bibirku dan menggantinya dengan lipgloss. Dan aku siap untuk pulang."Jill kami akan menonton di tempatku malam ini, ikutlah." Wendy berseru.
"Ya ampun kenapa malam ini semua orang punya acara," Aku bergumam. "Aku tidak bisa, maaf sekali. Besok pagi aku harus mengajar."
"Oh ayolah, kita hanya akan menghabiskan satu film." Megan merengek.
"Itu tidak akan hanya satu film saat kita semua sudah tenggelam di dalam jalan cerita Meg. Aku benar-benar tidak bisa, besok jam tujuh kelasku dimulai dan aku butuh sedikit perjuangan untuk bangun pagi. Maaf."
KAMU SEDANG MEMBACA
[With Me And The Boys-Trilogy] #1 Play (it) Boy!!
General FictionJillian Summer sadar betul tidak banyak pria baik-baik yang bisa dia temui di bar -atau mungkin memang tidak ada- seperti yang selalu di ucapkan orang-orang di luar sana. Dan seharusnya, pepatah tentang jangan pernah sekali pun percaya pada pria yan...