11. EX

3.8K 225 3
                                    

"Kau berkunjung ke bar, dan meminum.... " Ray mendekatkan hidungnya padaku. "Brendi. Jadi kau seberani ini sekarang?"

Aku diam tidak menjawabnya dan hanya menatap langit-langit apartemenku dengan kepala bersandar di sandaran sofa. Kepalaku masih sangat berkabut dan adrenalin masih berpacu di dalam tubuhku.

Kami sekarang duduk berdampingan di sofa usang apartemenku, setelah kejadian tadi Ray bersikeras mengantarku sampai apartemen.

"Dulu kau bahkan tidak mampu menghabiskan sekaleng bir, tapi kau meminum Brendi sekarang. Luar biasa." Gumam Ray.

Aku masih tidak menanggapinya. Kejadian tadi masih membuatku terguncang dan bingung, ketakutan. Apa yang akan terjadi jika aku tidak menemukan kesadaranku tadi? Astaga, aku mungkin berakhir di atas ranjang Javier dan.... oh.... aku tidak sanggup membayangkannya. Itu pasti akan sangat mengenaskan.

Ray kembali menghembuskan napasnya dan berdeham.

"Oke, kita mulai dengan sesuatu yang lebih sederhana. Untuk apa kau mengunjungi bar?" Tanyanya.

Aku memejamkan mataku sambil memijat kening dengan kedua tanganku. Lalu aku menghembuskan napas berat.

"Aku tidak tahu untuk apa aku ke sana." Jawabku pelan dengan suara parau.

"Selain untuk membahayakan dirimu sendiri?" Tanya Ray sarkastik.

"Aku hanya kehilangan pikiranku dan masuk ke bar. Memesan Brendi, menjadi setengah mabuk dan bertemu seorang bajingan.... " aku menghela napasku, merasa bodoh. "Ya.... kurasa aku membahayakan diriku sendiri."

"Kau bukan tipe orang yang akan menyelesaikan masalahmu di bar, Jill, aku tahu dirimu. Cello selalu bisa membuatmu jauh lebih tenang dari pada apa pun di dunia ini, apa yang membuatmu berubah?" Tanya Ray. Dia mengangkat sebelah tangannya untuk memegang pipiku dan mengarahkan wajahku ke padanya. Mata coklatnya menatapku dengan sorot penasaran, dan kami hening untuk beberapa saat.

Aku mengalihkan tatapanku dari wajahnya dan berbisik pelan. "Aku jatuh cinta."

Aku tidak akan pernah bisa berbohong pada seorang Raymond Kavanagh.

Ray diam tidak menanggapi ucapanku. Sementara aku kembali diterpa rasa sakit setelah mengucapkan kata "C" itu. Karena satu kata terkutuk itulah yang telah membuat hidupku hancur.

"Jatuh cinta ya... " gumam Ray.

"Kau pasti sangat mencintai pria itu," suara Ray kembali terdengar. Kali ini begitu pelan."Dia satu-satunya yang mampu mengubah kucing manjaku menjadi seliar ini."

Aku menggelengkan kepalaku dan meraih tangannya yang ada di wajahku lalu menggenggamnya dengan kedua tanganku.

"Aku bukan kucing manjamu." Gumamku. Lalu aku mengalihkan tatapanku padanya.

"Kau pernah." Ucap Ray pelan.

Kami bertatapan dalam jarak yang sangat dekat, aku bahkan bisa merasakan terpaan hangat napas Ray yang berhembus di wajahku.

"Ya, tapi tidak lagi." Bisikku pelan. Aku meremas tangannya lalu melepaskannya saat aku berdiri dari kursiku dan berjalan ke dapur.

"Minum?" Tanyaku tanpa melihatnya.

"Ya... kedengarannya bagus." Jawab Ray.

Aku mengambil jus jeruk dan es batu dari dalam kulkasku, lalu mengambil dua buah gelas tinggi dan memasukkan es batu itu ke dalam gelas-gelas tadi sebelum menuang jusnya.

"Sejak kapan kau kembali ke Manhattan?" Tanyaku.

"Dua hari yang lalu?" Dia bergumam. "Mungkin. Ya.... sekitar dua atau tiga hari."

[With Me And The Boys-Trilogy] #1 Play (it) Boy!!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang