22. In Between

3.6K 192 2
                                    

Kini, cinta telah membawaku ke sebuah titik di mana aku harus memilih. Antara dia dan hidupku.

Cinta tidak mengizinkanku memiliki keduanya.

Dan jika aku benar-benar harus memilih salah satunya, aku tentu akan memilih dia.

Karena dengan memilihnya aku juga akan memiliki hidupku.

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Aku mencoba untuk tidak terpengaruh dengan pembicaraan kami tentang revolver tadi malam. Meskipun itu sedikit sulit, tapi aku tetap berusaha bersikap biasa saja pagi ini saat kami mengecek ulang barang bawaan kami sebelum pergi ke bandara.

Tapi bayangan tentang Kyle dan revolver itu tidak bisa hilang dari pikiranku.

Dia menggunkannya untuk mengakhiri nyawa banyak orang, dan dia menikmati itu. Di lihat dari sudut mana pun itu jelas adalah tindakan seorang pembunuh.

Kyle bilang dia adalah seorang pembunuh. Entah apa yang terjadi saat itu, riwayat buruk itu sudah terlanjur terukir di hidupnya.

"Jill." Ucap Kyle dengan suara cukup keras sambil menarik bahuku pelan agar menghadap ke arahnya.

Aku yang kebingungan hanya menatapnya penuh tanya.

"Ya, ada apa?" Tanyaku.

Kyle menghembuskan napasnya sambil memejamkan matanya sejenak. Cengekraman jari-jarinya terasa kaku di bahuku.

"Aku sudah memanggilmu berkali-kali sejak tadi," ucap Kyle dalam sebuah hembusan napas pelan.

"Benarkah? Ahh maaf." aku membalas ucapannya di tengah-tengah tawa kecilku.

Lalu dia menatapku. "Ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu?"

"Aku memikirkan penerbangan. Kau tahu... sedikit gugup. Ini biasa."

Aku menambahkan tawa kecil di ujung kalimatku dan itu terdengar sangat kaku. Kenapa aku selalu sangat payah dalam hal menyembunyikan emosi?

"Selain penerbangan?"

"Tidak. Aku hanya gugup, itu saja. Ini juga terjadi padaku saat kita berangkat kau ingat kan?"

Kyle menghela napasnya, bahkan dari hembusan napasnya saja aku tahu dia frustasi.

"Inilah alasan aku tidak ingin kau tahu banyak tentangku," ucap Kyle pelan. "Aku tidak ingin kau berubah. Aku tidak ingin kau takut padaku dan meninggalkanku."

"Apa yang kau bicarakan Kyle? Aku tidak akan meninggalkanmu." Aku berkata pelan, terdengar sangat tidak meyakinkan. "Dan aku juga tidak takut padamu."

Kyle mengabaikan ucapanku dan melanjutkan. "Sebut aku egois karena aku menginginkanmu selamanya di hidupku meskipun aku seorang keparat. Aku sadar kau bisa punya kehidupan yang jauh lebih baik dari ini jika kau bersama pria lain, tapi aku tidak akan pernah bisa menerima itu. Sejak aku meninggalkanmu dan merasakan bagaimana hidup tanpamu, saat itu aku sadar bahwa kita bertemu bukan untuk berpisah."

"Kalau begitu jadilah egois selamanya jika dengan begitu kau tidak akan pernah meninggalkanku lagi." Balasku.

Untuk beberapa alasan aku juga memikirkan hal yang sama dengan Kyle. Mungkin hidupku akan jauh lebih mudah jika aku bersama Will atau Ray saja. Pergi kencan setiap minggu seperti pasangan normal lainnya, menonton film di bioskop, makan malam romantis...

Tapi hidup seperti itu akan terlalu sempurna.

Dan terlalu banyak kesempurnaan itu bisa jadi adalah sebuah kesalahan.

"Jadilah egois selamanya dan kita tidak akan pernah lagi berpisah." Bisikku pelan.

Aku menarik bagian depan jaketnya lalu meraih bibirnya dengan bibirku. Memulai sebuah ciuman keras yang menuntut, mengikut sertakan lidah dan gairahku. Kyle menyambutku dengan sangat baik, kedua tangannya yang bebas langsung menyangga pinggangku begitu bibir kami bertemu dan ketegangan seksual tiba-tiba saja menyelimuti kami seperti selembar kain hitam yang membutakan.

[With Me And The Boys-Trilogy] #1 Play (it) Boy!!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang