"Kita belum sempat berkenalan saat terakhir kali kita bertemu," ucap Tyler. "Tapi aku yakin Kyle pasti sudah banyak bercerita tentangku kan?"
Aku masih terpaku menatap sosoknya. Seluruh tubuhku mendingin dan gemetar, jantungku tergelincir dan jatuh ke dasar perut.
Tyler Reed masih tetap tersenyun santai, bahkan terlihat luar biasa ramah dan bersahabat. Tidak akan ada yang menyangka bahwa dia adalah tangan kanan seorang mafia jika melihat wajah malaikatnya ini.
"Kau terlihat tidak begitu baik," Tyler melanjutkan, tangannya terangkat dan menyingkirkan seberkas rambut yang menutupi tepi wajahku. "Aku juga melihatmu pergi sendiri sore tadi."
Hatiku mencelos.
Tuhan.
Perasaan takut yang kurasakan saat aku pergi ke apotek beberapa jam lalu ternyata bukan hanya sekadar paranoidku semata. Ternyata memang ada yang mengawasiku saat aku pergi sendirian tadi.
Bulu kudukku meremang menyadari kenyataan itu. Apa selama ini aku memang selalu diawasi?
Sentuhan tangan Tyler beralih ke tanganku, dia menggenggam jari jemariku dengan tangan lembutnya dan meremasnya perlahan.
"Gadis malang," gumam Tyler. Lalu dia tersenyum mesra padaku. "Cinta itu membawamu pada kehancuran. Aku mengerti penyesalanmu sekarang karena telah mengenal dan mencintai dia. Tapi sayang sekali, penyesalan tidak akan menyelamatkanmu dari kemalangan itu."
Mataku kembali memanas dan memberat oleh air mata yang menggantung rendah di pelupuk mataku. Rasa takut membelenggu dan mendesakku.
"Di mana Heidi?" Aku berdesis pelan, hampir tidak membuka mulutku.
Tyler masih menatap mataku dengan sangat lembut, sangat ramah dan penuh arti. Orang-orang di dalam sini mungkin akan berpikir kami adalah sepasang kekasih sekarang, bukan dua orang asing yang sedang bersitegang.
Lalu sebuah senyum yang jauh lebih manis muncul di bibirnya. Tyler mendekatkan wajahnya padaku dan merengkuh pipiku dengan sebelah tangannya.
"Jika kau bisa menjaga sikapmu, aku janji kau akan bertemu Heidi." Bisiknya di atas kulit wajahku. "Kita di tempat umum sekarang, usahakan bersikap biasa dan jangan menarik perhatian. Kau mengerti, sayang?"
Tuhan, kumohon selamatkan kami.
Aku memanjatkan doa itu berulang-ulang di dalam hatiku sementara itu aku sudah tidak mampu lagi menahan tangisan. Air mataku menetes bergantian menuruni pipiku, aku menangis tanpa bersuara.
Tyler membawaku ke dalam pelukannya. Mendekapku erat di dalam dadanya dan menyembunyikan wajahku di sana.
"Sayang sekali, kau ternyata tidak bisa bekerja sama dengan baik." Bisik Tyler di atas rambutku. Kali ini suaranya menyiratkan sebuah ancaman.
"Jika setetes saja air mata jatuh lagi dari matamu..." Tyler menjeda ucapannya hanya untuk mengeratkan pelukannya di tubuhku, membuatku sesak dan terdesak di dadanya. Dia menyusupkan wajahnya di leherku dan berbisik tepat di atas telingaku. "Aku akan membunuh Heidi."
Jantungku berhenti berdetak selama satu detik saat mendengar ucapannya. Tanganku mengepal menahan semua emosi yang berkecamuk di dalam diriku.
Takut, marah, bingung, khawatir...
Semua emosi itu menamparku tanpa henti, tanpa ampun. Membuatku terpuruk dalam perasaan terancam.
"Jangan sakiti Heidi." Ucapku putus asa setelah aku bisa menemukan suaraku.
"Nyawanya ada di tanganmu sayang, jika kau bisa bekerja sama dengan baik maka tidak ada satu nyawa pun yang akan hilang."
Aku merapatkan mataku yang sudah terpejam. Sedikit banyak berharap saat aku membuka mata nanti aku akan berada di dalam basecamp The Bless Cum dan meringkuk di dalam pelukan Kyle.
KAMU SEDANG MEMBACA
[With Me And The Boys-Trilogy] #1 Play (it) Boy!!
General FictionJillian Summer sadar betul tidak banyak pria baik-baik yang bisa dia temui di bar -atau mungkin memang tidak ada- seperti yang selalu di ucapkan orang-orang di luar sana. Dan seharusnya, pepatah tentang jangan pernah sekali pun percaya pada pria yan...