Hari ini cerah seperti biasa. Matahari tak begitu terik. Awan berarak di atas sana. Semilir angin berhembus membelai wajahnya nan ayu. Dia tersenyum. Begitu manis. Matanya nan berbinar, bibir mungilnya nan merah alami.
Tanpa terasa aku tersenyum melihatnya untuk kesekian kalinya. Namanya Teresia, anak yang tinggal sendirian di sudut jalan ini. Orangtuanya meninggal akibat kecelakaan lalu lintas 3 tahun yang lalu. Begitulah info yang aku dapatkan.
Tere, gadis manis yang selama sebulan ini aku kagumi. Aku terpikat dengan segala yang ada pada dirinya. Ingin aku menyapanya, tapi aku masih tak berani.
Sebetulnya mudah saja bagiku untuk mendekatinya, tapi aku urungkan niat tersebut. Aku menunggu waktu yang tepat, baginya dan bagiku. Jika menurutku waktu itu sudah datang maka biarkan waktu yang menentukan untuk kedepannya.
***
Di suatu hari yang tak begitu terik. Aku telah siap untuk melangkah menuju tanah pekuburan untuk melihat kedua orangtuaku. Seperti biasa aku lakukan setiap tanggal 7 sepanjang tahun. Tujuh tangkai bunga lili kesukaan mama dan 7 tangkai mawar putih untuk papa. Kecelakaan itu menewaskan kedua orangtuaku, sama seperti Tere. Aku juga yatim piatu. Bedanya hanya aku harus mewarisi semua bisnis yang papa dan mama rintis.
Ya, aku adalah anak tertua dari dua bersaudara. Mau tidak mau, aku yang harus mengurus semuanya. Awalnya aku memang sedikit agak kerepotan karena tidak tau apa yang harus aku lakukan. Untung saja ada Om Baskara yang mengajariku. Om Baskara adalah sekretaris papa yang merupakan tangan kanan papa.
Adikku, Randu, mengurus bisnis mama. Ia yang membantuku untuk mengurus butik mama. Mama adalah desainer handal keluarga kami. Baju kami hampir semuanya mama yang mendesain sesuai kepribadian kami. Sepertinya mama memang menyiapkan Randu untuk melanjutkan bisnisnya. Jadi, ia tidak begitu keget dalam mengurus bisnis mama.
Sedangkan aku yang tak begitu mengerti masalah hukum diharuskan untuk banyak belajar. Maklum saja, aku dengan papa memang bertolak belakang. Aku sangat menyukai fotografi tapi semua harus aku tinggalkan. Papa adalah seorang pengacara handal dikalangannya. Dan memiliki kantor advokat sendiri. Aku harus bertemu klien-klien papa, mengurus beberapa berkas. Ini sangat membosankan bagiku yang masih ingin bebas. Sayang takdir tak menginjinkan aku untuk berleha-leha.
Kali ini aku mengambil cuti. Cuti rutin setiap tanggal 7, bedanya hari ini aku hanya sendiri. Randu harus keluar kota mengantarkan langsung pesanan salah satu langganan mama.
"Hai ma, pa! Apa kabar? Maaf ya hari ini aku cuma datang sendiri, Randu ngantarin pesanan Tante Ratna, ya mama tau lah gimana marahnya dia kalo pesanannya gak diantar langsung sama Randu. Oiya pa, kemaren aku berhasil memenangkan kasus besar, ini berkat Om Baskara yang ngajarin aku. Ternyata beda banget ya, pa, antara teori di kampus sama kenyataannya," ceritaku sambil membersihkan makam kedua orangtuaku.
"Pa, ma, kayakny aku jatuh cinta deh," tiba-tiba pipiku memanas. Aku malu. Tapi tak tau ingin bercerita pada siapa lagi. Dengan Randu, aku belum siap bercerita.
"Saat aku melihatnya, jantungku berdetak lebih keras dan lebih cepat. Melihat senyumnya, akupun bisa ikut tersenyum dengan sendirinya. Aku tak pernah merasakannya sebelumnya, ma, pa. Dia, Tere ma, dia itu empat tahun di bawah aku. Dia masih SMA, tiap pagi aku selalu menyempatkan melihatnya dari kamar. Dia sangat menggemaskan, pa. Tapi sayang dia sama sepertiku, kami perempuan, maafin aku ma, pa, anakmu jatuh cinta padanya. Jujur saja, perasaan ini sudah aku tolak, tapi semakin aku tolak, semakin besar rasa cintaku padanya ma, pa. Aku yang tersiksa dibuatnya."
Aku diam sejenak, mengatur napas yang mulai memburu menahan sedikit kesal di dada. "Ma, pa, maafkan aku, sepertinya aku gak bisa menolak ini semua. Maafkan anakmu ini, ma, pa."
Aku melangkah menjauh dari makam kedua orangtuaku. Aku tau jika mereka masih hidup, pasti mereka akan membantahnya. Aku tau mereka akan marah, maafkan aku. Tapi aku sepertinya sangat mencintai dan menyayanginya dalam diam. Percayalah ini sangat menyiksaku.
Kulajukan mobilku dengan kecepatan sedang, hujan mengguyur dengan derasnya. Aku berhenti di tepi jalan, di sebuah mini market dekat dengan rumahku. Samar aku lihat, anak berseragam sekolah sedang memainkan hujan dengan ujung jemarinya. Senyumku merekah seketika. Ya, dia adalah Tere.
Aku setengah berlari ke dalam mini market. Aku membeli payung dan sebungkus rokok. Segera ku nyalakan api rokokku. Dia masih melihat hujan sesekali menghela napas. Hanya beberapa kali hisapan, aku membuang putung rokokku sembarangan.
"Butuh tumpangan?" sapaku kepadanya. "Hujannya awet banget ini kayaknya," dia menyergit melihatku. Sedetik kemudian dia membuang muka, aku diacuhkan. Baiklah. "Ini, ambillah," aku berlari meninggalkannya menuju mobilku.
Dia masih diam. Akhirnya kujalankan mobilku pelan. Yes, dia mengambil payung itu.
Aku telah memasuki pekarangan rumah. Langsung menuju kamar. Dengan handuk yang bertengger di kepala, aku berjalan menuju jendela, menunggunya lewat. Semenit, dua menit dan tepat menit ke lima dia lewat. Lagi-lagi aku tersenyum melihatnya.
Sepertinya aku bener-bener sudah gila senyum-senyum gak jelas gini. Eh tapi namanya juga jatuh cinta, bener gak yaa ini jatuh cinta, atau cuma sekedar kagum aja sama dia ya? Hmm....
****
Tbc
Mohon maaf jika ada kesalahan dalam ejaan, atau ceritanya kurang rapi krn saya juga masih belajar.
Mohon kritik dan sarannya ya 😊
Salam dari saya untuk mereka yang masih mencintai dalam diam 😉
KAMU SEDANG MEMBACA
Tere
RomanceCerita ini hanya fiktif belaka, jika memiliki kesamaan nama, latar dll, itu hanya sebuah kebetulan, jangan baper banget apalagi sampe laper. Untuk yang homophobia gak usah mendekat dulu, nanti ada waktunya kita berjumpa, tapi tak dicerita ini. Beb...