Tere pov
Hari ini lumayan berat menurutku. Kenapa harus aku ya Tuhan?
Siang tadi aku dipanggil ke ruang BK bukan karena aku bermasalah tapi aku diutus sekolah untuk mengikuti lomba fotografi yang akan diadakan di luar kota beberapa minggu lagi, tepatnya akhir bulan ini. Pihak sekolah hanya akan memfasilitasi biaya pp dari kotaku ke kota tujuan dan biaya makan akan ditanggung oleh panitia.
Inilah masalahnya, aku tak memiliki kamera profesional. Sebagian hasil fotoku yang ku jual untuk hidup, hanya hasil dari aku meminjam kamera temanku, Farah. Tak mungkin aku meminjam kameranya selama beberapa hari.
Selama di perjalanan pulang, aku terus memikirkannya, jika aku mengundurkan diri, maka pupus sudah harapanku untuk menunjukkan hasil jepretanku kepada beberapa fotografer handal yang menjadi juri perlombaan tersebut.
Aaaah bagaimana ini? Seandainya masih ada ayah dan ibu mungkin mereka akan dengan senang hati memberikanku kamera. Tapi, sudahlaah, sudah terjadi.
Kini aku hanya sebatang kara, untung saja masih ada rumah untukku berlindung. Kecelakaan beberapa tahun lalu selalu membayangiku. Mobil dari arah berlawanan tiba-tiba saja menabrak mobil kami.
Entah apa yang terjadi aku tak tau, yang ku tahu hanya aku sudah berada di ruang serba putih dengan beberapa selang di badanku serta selang infus di tangan kiri, dan kakiku sepertinya patah. Kedua orangtuaku, tidak terselamatkan.
Hari-hari kelam pun dimulai, barang-barang di rumah pun satu persatu aku jual untuk bisa membayar biaya pengobatanku.
Sekitar setahun aku berhenti dari sekolah, harusnya aku sudah tamat, tapi apalah dayaku. Kini di tahun akhir masa putih abu-abu aku ingin mengharumkan nama sekolah yang selalu menerimaku. Aku akan tetap menerima tawaran sekolah.
Di tengah jalan, hujan tiba-tiba saja datang dengan derasnya. Aku berlari mencari tempat untuk berteduh. Akhirnya aku berteduh di depan sebuah mini market.
Aku suka hujan, apalagi ketika ia menyentuh jemariku seperti sekarang. Aku sedang menadahkan tangan memainkan hujan dan itu membuatku tersenyum.
Ingin aku berlari menuju rumah yang hanya beberapa meter lagi, tapi aku takut buku pelajaranku basah. Akhirnya aku memutuskan untuk berteduh saja di sini.
"Butuh tumpangan?" kaget aku, tiba-tiba ada yang nonggol. "Hujannya awet banget ini kayaknya," sepertinya aku kenal, tapi dimana ya. Oh ini kakak yang tinggal di simpang jalan rumah. Aku langsung buang muka. "Ini, ambillah," belum dijawab dia udah lari aja. Lah ini kan payungnya dia, ngapain ngasih ke aku. Ini hujan juga gak berhenti lagi.
Yaudahlah, aku pakai ini aja kali ya pulangnya, udah mau magrib juga. Sepanjang jalan menuju rumah. Aku hanya bersenandung. Hujan masih setia turun dengan intensitas ringan. Ah, itu mobil kakak yang tadi, berarti benar ini rumahnya. Aku merhatiin sekilas rumah berwarna abu-abu hitam dengan kesan minimalis.
Rumah ini sebelumnya kosong. Keluarga Bu Ulfa menjualnya dan pindah ke Bogor. Begitu sih yang ku dengar dari tetangga saat aku beli beberapa bahan makanan di warung depan komplek. Ya, mungkin sudah sekitar 1 tahun rumah ini kosong dan akhirnya terisi oleh kakak tadi.
Aku sudah sampai di rumah tercinta. Aku jadi ingat sama kakak tadi. Kok dia ngasih aku payungnya ya. Hmm mungkin kasian aja kali ya. Aku bersantai sebentar di ruang tv. Sebelum akhirnya aku memutuskan untuk mandi.
Sepi. Ya tiap hari selama 3 tahun terakhir aku selalu kesepian. Hidup sebatang kara ya gini, apa apa harus mandiri.
Kenapa aku gak mati aja sih? Itu selalu terpikir olehku ketika aku sedang kesepian teramat sangat seperti sekarang. Hujan sudah berhenti beberapa saat lalu. Aku duduk di dekat kolam belakang rumahku.
Lagi, aku menyalahkan takdir yang telah membuatku sendiri seperti sekarang. Aaaaaah, aku teriak untuk meredakan sedikit rasa sesal dalam hatiku. Aku menangis, sejadi-jadinya.
Tiba-tiba pintu rumahku ada yang mengetuk. Aku segera menghapus air mataku. Aku bingung siapa yang datang, apakah Farah? Ah tidak mungkin Farahkan lagi ada urusan keluar kota, menyelesaikan tugas kuliahnya.
Ya sudah ku katakan kan, aku terpaksa istirahat satu tahun untuk memulihkan kesehatanku. Jadi gak usah heran kalo Farah udah kuliah dan aku masih berlabel anak sekolahan.
"Siapa?" tanyaku waktu membuka pintu.
****
Tbc
Saya masih belajar, dan mohon kritik sarannya ya.
Terima kasih 😊
Salam dari saya untuk mereka yang masih mencintai dalam diam 😉
KAMU SEDANG MEMBACA
Tere
RomanceCerita ini hanya fiktif belaka, jika memiliki kesamaan nama, latar dll, itu hanya sebuah kebetulan, jangan baper banget apalagi sampe laper. Untuk yang homophobia gak usah mendekat dulu, nanti ada waktunya kita berjumpa, tapi tak dicerita ini. Beb...