Berlian pov
Setelah keadaan mulai terkendali, aku memutuskan untuk melanjutkan studiku ke salah satu universitas yang ada di luar negeri, bukan tanpa alasan, tentu saja ini untuk menunjang profesiku. Bukan sebagai seorang yang ahli di bidang hukum, aku mengambil jurusan sinematografi. Semua ini akibat tawaran salah satu kolega dari Randu. Dan akhirnya aku memutuskan untuk menekuninya.
Bolak-balik Singapura-Jakarta, membuatku jatuh sakit, dan harus diasingkan. Ada Randu dan Tania yang merawatku. Mereka bergantian menjagaku, begitu pula Om Baskara. Aku sengaja menyembunyikan kenyataan bahwa aku sedang tidak baik kepada Tere.
Dan saat melihat reaksinya ketika mamanya menyebutkan aku akan pergi melanjutkan studiku, dia hanya diam, dan tak merespon. Semua memang salahku yang setelah menyatakan perasaan lalu pergi malah menghilang dan kini muncul kembali dengan kabar bahwa aku akan pergi, lagi.
Setelah hening menyelimuti karena aku pun jujur gak tau mau mulai dari mana untuk menjelaskan segala suatunya pada Tere. Randu yang berada di sebelahku, hanya menatap iba padaku dan juga Tere.
"Aduh, papa lupa, ayo kita makan dulu udah waktunya makan malam, ayo ayo," ucap Om Baskara memecah hening.
Setidaknya itu bisa mencairkan suasana yang tegang sebelumnya. Om Baskara melihat ke arah anak sematawayangnya dan menghela napas, saat Tere hanya memainkan makanannya.
"Jangan dimainin gitu, abisin makanannya," sela tante Arumi pada anaknya.
Tere hanya mengangguk dan kembali menyuap makanannya. Makan malam kali ini penuh dengan ketegangan aku rasa. Bukan ini yang aku harapkan. Tapi sudahlah, nasi sudah menjadi bubur.
Tak lama Tere beranjak permisi, dengan alasan capek. Aku pun meminta ijin untuk menyusulnya.
"Om, Tante, aku susul Tere dulu ya," ijinku.
"Yaudah, sana, jelasin semuanya sebelum pergi, daripada anaknya ngambek gitu," ledek tante Arumi.
Ya tante Arumi sudah tau kalo aku menaruh hati pada anak semata wayangnya itu. Dan reaksinya, di luar dugaan.
"Sono kak, awas aja lu macam-macam sama adek gue," tambah Randu dengan tawanya dan mendapat pelototan dari kekasihnya Tania.
Aku hanya tersenyum menanggapinya, aku harus menjelaskan segala sesuatunya pada Tere.
Aku mengetuk pintu kamarnya, tak ada jawaban. Dengan keberanian diri, aku mencoba membuka kamarnya dan ternyata tidak di kunci. Aku melihatnya duduk di meja belajarnya dengan wajah yang tertekuk tentunya.
Aku hanya menghela napas dan berjalan ke arahnya, aku pun bingung mau mulai dari mana menjelaskan segalanya.
"Kenapa suka banget ninggalin aku?" tanyanya dengan nada bergetar.
Aku masih berdiri di belakangnya, menatap punggungnya yang bergetar.
"Aku gak ninggalin kamu, justru aku mau bawa kamu bareng aku ke sana," jawabku.
Ia terkejut dan mencoba membalikan badan ke arahku. Kini dia menatap ke arahku. Aku hanya memasang wajah datar seperti biasa.
"Kalo mau bohong gak gini caranya, kalo mau bikin aku sakit hati, kakak udah berhasil, apalagi dengan membawa cewe yang tadi ke sini, aku tau kok dia punya hubungan spesial sama kakak, jadi jangan ngebual untuk ngajak aku pergi bareng kakak, gak lucu tau!" sergahnya dan mendorongku, untung saja aku tak terjatuh.
"Cewe yang mana sih? Tania? Iya sih aku punya hubungan spesial sama dia," aku mencoba memprovokasinya.
"Yaudah, sana keluar dari kamar aku, aku males ketemu kakak!" ucapnya sambil mendorongku lagi.
Aku hanya terkekeh saat melihatnya emosi, liatlah ekspresinya, membuatku kembali jatuh dalam pesonanya. Tere. Gadis yang ingin aku usir dari hatiku tetapi malah mengambil alih hatiku dengan pesonanya.
"Masa kamu cemburu sama pacarnya adek aku sih?" ucapku sambil mengacak poninya.
"Hah?" lihatlah kebiasaannya kembali.
"Aku bukan umang-umang ya, yang harus dikasih napas," ucapku lagi.
"Gak lucu kak!"
"Aku emang gak lucu, kan lucunya dikamu."
Aku melihatnya membuang muka. Lucu sekali ekspresinya. Aku kembali ke mode serius setelah melihat ke arahnya yang menatapku dengan tatapan horor.
"Ekheem, jadi gini, aku bakalan jelasin semuanya. Kamu mau dengar darimana dulu?" tanyaku padanya.
"Terserah, aku punya banyak waktu untuk dengerin semuanya."
"Kayaknya aku jelasin secara singkat aja ya, takut kemalaman, gak enak sama keluarga kamu."
"Hmm terserah kakak aja, aku dengerin semuanya."
Aku mengambil duduk di pinggir ranjangnya, sedangkan dia masih betah duduk di kursi belajarnya.
"Aku menghilang sejak malam itu karena aku butuh waktu untuk nenangin diri aku sendiri, selama masa itu, ada Tania di samping aku, dia udah tau kalo aku gak mungkin bisa balas perasaannya, dan dia sekarang menjalin hubungan dengan Randu. Kenapa bisa sama Randu? Aku juga gak tau gimana ceritanya, mungkin karena mereka juga sering interaksi. Apalagi waktu ngerawat aku yang jatuh sakit beberapa waktu lalu, akibat kelelahan bolak-balik Singapur-Jakarta. Aku ngga mungkin biarin kamu terlunta-lunta juga saat ikut sama aku. Iya, kamu bakalan ikut sama aku, kuliah di universitas yang sama, untuk jurusan kamu berhak milih sendiri, daftar ulangnya bulan depan. Berkas-berkas kamu ada di bawah dalam tas aku. Jadi kamu mau ikut sama aku, atau gimana?"
Dia menatapku dengan tatapan yang gak bisa aku artikan, sedetik kemudian dia berhambur ke arahku dan memelukku dengan sangat erat. Dan dia kembali menangis. Aku mengeratkan pelukanku padanya.
"Gak usah lama-lama peluknya, ditungguin di bawah itu," tetiba Randu muncul dengan ocehannya dan membuat Tere melepaskan pelukannya.
Aku langsung menoleh dan menatap tajam pada Randu. Sedangkan yang ditatap hanya tertawa dan berlalu. Jangan tanyakan ekspresi Tere, wajahnya memerah menahan malu dan sambil menghapus bekas tangisnya.
"Ayo ke bawah, udah ditungguin," ucapku sambil memberikan uluran tangan padanya. Dia pun menerima uluranku dengan malu-malu.
"Bisa kali dilepas tangannya, udah kayak mau nyebrang jalan aja," kembali godaan dari Randu membuat Tere berusaha melepaskan genggaman tangannya, tapi aku menahannya.
"Kenapa? Iri bilang bos!" balasku.
"Sayang, liat tuh, aku dibilang iri sama Kak Berlian," adunya pada Tania.
"Kamu yang mulai duluan, gak usah sok teraniaya gitu," balas Tania.
Sontak semuanya tertawa melihat Randu yang tak mendapat dukungan dari Tania.
"Mamam noh!" ucapku sambil melempar bantalan kursi ke arahnya.
Untung saja sebelum terjadi peperangan antar saudara, suara Om Baskara mengintrupsi.
"Sudah-sudah, jadi gimana Tere, kamu mau ikut kuliah sama Berlian atau tetap di sini?"
"Aku mikir-mikir dulu deh pa, soalnya aku gak mau liat mama sama papa sedih kalo aku tinggal berdua," ucapnya.
"Dih, pede sekali kamu, kan anak mama papa gak cuma kamu seorang, ada Randu sama Tania juga ya," cibir tante Arumi.
"Oh jadi mama gitu ya, oke fix, aku ikut kak Berlian aja, daripada aku galau terus mikirin kak Berlian, ups" ceplosnya.
"Cieee yang galau mikirin kakak aku," godaan kembali muncul dari Randu.
"Udah jangan digodain terus anaknya, ntar dia pundung loh, tapi kalo galau ya kasian juga sih, ntar mewek tiap malam," tambah Tania. Sontak saja suasana kembali hangat penuh dengan gelak tawa.
********
Gimana nih? Udah mau masuk part akhir, sejauh ini gak terlalu gaje kan ya? Tapi kalo gaje ya gpapa lah, soalnya saya emang gak jelas gitu mau nulis apaan wkwkwk
Jadi bakalan sad/happy ya kira-kira akhir ceritanya? Boleh kali dishare pendapat pembaca di sini.
Sekian dulu ya part kali ini, see you byebye!!!
KAMU SEDANG MEMBACA
Tere
RomanceCerita ini hanya fiktif belaka, jika memiliki kesamaan nama, latar dll, itu hanya sebuah kebetulan, jangan baper banget apalagi sampe laper. Untuk yang homophobia gak usah mendekat dulu, nanti ada waktunya kita berjumpa, tapi tak dicerita ini. Beb...