(11) Feelings

6.6K 255 4
                                        

"LO SERIUS?! jerit Ellen dengan super heboh. Dia mengibas-ngibaskan tangannya. "Astaga, Di! Itu kode! Kode!"

Maddie menceritakan semuanya yang terjadi di UKS pada Ellen. Percakapannya dengan Aldi dan pelukan itu. Tapi, Maddie sengaja tidak menceritakan satu percakapan, yang menurutnya lebih baik disimpan dulu.

"Lo terlalu berlebihan. Itu hanya pembicaraan biasa, Len."

"Tapi, Di. Dia ngomong kayak gitu ke lo. Pasti karena didasari rasa cemburu! Kalau dia cemburu, ya berarti dia cinta. Uwooooo, enak deh. Aktor ganteng suka sama Maddie."

"Dia bahkan nggak kenal gue sepenuhnya. Gimana bisa, Len? Totally impossible," tepis Maddie.

"No!" Ellen bersikukuh. "Dia nggak mungkin ngomong kayak gitu tanpa maksud tersembunyi, Maddeline."

"Maksud lo?"

"Mungkin dia memang suka sama lo. Nah, dia mau mastiin aja respon lo gimana kalo dia ngode kayak gitu. Dari respon lo, dia bakal mutusin," ucap Ellen menggantung sambil menyeringai.

"Apaan sih? Ngomong setengah-setengah amat."

"Dia bakal mutusin, apa dia lanjutin buat suka sama lo, atau berhenti gitu aja."

"Tapi, kalau dia suka 'kan, dia pasti bakal ngejar sampai gue suka sama dia," ceplas Maddie.

"IH MADDIE NGAREP NIH YEE!"

Maddie memutar mata. "Hanya pemisalan, Ellena," ia menghela napas. "Dan lagipula, semua yang lo katakan nggak mungkin terjadi. Karena baik gue dan Aldi, sama-sama menutup diri. Gue sama dia sangat bertolak belakang kayak air dan minyak yang nggak bakal bersatu. Oh, satu lagi. I hate him, kay?"

"Waktu yang bertugas buat jawab semuanya, Di. Dan firasat gue bilang, ada hal mengejutkan yang akan terjadi. Dalam artian positif."

***

"Ayolah, Di. Gue tau ini bukan kemampuan terbaik lo. Lebih fokus, bisa?" Kevin menggerutu melihat Aldi tak bersemangat bermain basket. Padahal, basket adalah salah satu mood booster Aldi.

Aldi tak menjawab. Ia hanya memantul-mantulkan bola tidak jelas Ada berbagai hal berkecamuk di pikirannya saat ini.

"Ada masalah?" tanya Kevin.

Aldi ingin menyangkal, namun sayangnya, tebakan Kevin benar.

"Masalah Bokap?" Lagi-lagi, Kevin benar.

"Well," Aldi menghela napas, "seperti biasa, dia tetep maksa gue buat tinggalin semuanya. Padahal dia tau apa yang gue suka. Dunia gue bukan dunia yang serius-serius amat. Ya apa adanya gini, penuh hiburan juga. You know what i mean."

Kevin menepuk pundak sahabatnya itu. "Bokap lo pasti bakal ngerti nanti. Dia cuma mau yang terbaik buat lo, Di."

Aldi mengangguk lamat. "I hope so," kemudian ia memamerkan cengiran, "Eh btw, Vin. Lo daddy-able banget deh."

Kevin menoyor kepala Aldi. "Udah bagus mau dikasih wejangan sesama sahabat. Dasar kunyuk."

"Oh iya, Vin. Alesan gue mutusin sekolah di LI sampe lulus... karena gue sempet kepikiran soal Bokap. Gue mau buktiin ke dia kalau gue bisa berprestasi juga dalam bidang akademik. Bukan cuma jago akting di sinetron-sinetron menye," ujar Aldi sembari membuka tutup botol air mineralnya.

"Soal film dan sinetron, 'kan lo sendiri yang mau, Di," sindir Kevin bercanda.

"Itu karena kontrak, Vin. Lagipula, dulu gue nggak tau bakal mainin sinetron yang cewek-cewek suka. Dulu 'kan, dede masih polos."

My Lovely HatersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang