(26) Menjauh + CAST

913 57 9
                                    

"BUN," ucap Maddie dengan wajah muram.

Bunda menoleh, menatap heran wajah anak bungsunya. "Muka kamu kenapa?"

"Hah?" Maddie meraba-raba wajahnya. "Emang muka aku kenapa?"

"Sedih gitu. Kamu kenapa?"

Maddie terdiam. "Maddie kayaknya galau."

Bunda tersenyum, lalu mencolek pipi putrinya. "Kamu galau kenapa, hm?"

"Nggak tau."

"Gara-gara pacar?"

"Ish, Bunda. Maddie aja nggak punya."

"Lho, terus si Edward itu apa?"

"Kok Edward, sih! Edward bukan siapa-siapanya Maddie. Dia itu cowok berengsek."

"Terus siapa, dong? Oh, iya! Yang artis itu juga deket kan, sama kamu?"

Maddie terdiam. Wajahnya tambah murung.

"Tuh, muka kamu tambah murung. Kenapa, sih?"

"Maddie bingung, Bun."

"Bingung kenapa?"

"Maddie nggak tau."

"Nggak tau gimana? Kalo ngomong nggak usah sepotong-sepotong gitu, deh."

Maddie menggeleng. "Maddie kangen banget sama Ayah."

Bunda tersenyum pilu. "Iya, Bunda juga. Udah deh, Bunda mau ngerjain kerjaan Bunda dulu."

Maddie memeluk Bunda sebentar, lalu ia beranjak ke kamarnya.

Ia merebahkan tubuh di kasur dan menatap langit-langit kamarnya, memikirkan sesuatu.

Dia harusnya saat ini fokus belajar, bukannya malah mengurusi masalah hatinya. Maddie berpikir keras hingga ia tertidur.

***

"Mau sampai kapan dia begitu? Jadi artis itu sama sekali nggak berguna!" seru Alfred dengan rahang mengeras.

"Tapi dia suka dengan pekerjaan itu, Pa! Kamu nggak boleh ngelarang anak kamu dengan hal yang dia suka selama itu positif," balas Maya.

"Lalu siapa yang akan melanjutkan pekerjaan ini kalau aku mati nanti, Ma? Anak itu harusnya belajar serius dibanding cuma main sinetron tidak penting!"

"Pa! Sadar kamu ngomong apa? Nanti anak kamu denger gimana?"

Alfred menggeram. "Pokoknya Papa tidak setuju Aldi melanjutkan jadi artis, aktor, apapun itu."

"Kasih Aldi kesempatan sampai dia bisa ngebuktiin kalau dia juga bisa serius dengan pendidikan, Pa. Setidaknya sampai dia kuliah."

"Apa kamu yakin Aldi bahkan mau kuliah? Sekarang saja dia jarang masuk sekolah karena pekerjaannya itu. Anak seusia dia harusnya belajar! Kamu mau anak kita jadi anak nggak berguna?"

"Alfred! Kamu nggak seharusnya bicara seperti itu!"

Sementara Aldi, yang hendak mengetuk pintu ruang kerja Papanya menurunkan tangannya, tidak jadi mengetuk pintu. Hatinya mencelos mendengar pernyataan Papanya sendiri.

Aldi terduduk, lalu mengusap wajahnya kasar. Ingatan beberapa tahun lalu menghampirinya.

Sejak saat iu, Aldi bertekad membuktikan pada Papanya kalau ia serius dengan pekerjaannya. Ia juga ingin membuktikan bahwa dirinya bisa tetap memedulikan pendidikannya.

My Lovely HatersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang