"CUT!" seru seorang sutradara.
Aldi menghela napas lega, lalu tersenyum sumringah."Di, nih minum," kata seorang cewek berambut panjang kecokelatan.
"Eh, iya. Thanks ya," balas Aldi sambil menerima sodoran air mineral kemasan botol dari Abby, lawan mainnya dalam film yang saat ini sedang dalam proses.
Abby hanya tersenyum senang. Jantungnya berdebar kencang saat bersama Aldi. Apapun situasinya.
Karena, Abby suka Aldi.
"Di, besok kita pindah lokasi ke Jakarta," ujar manajer Aldi, Kevin. Ia juga sahabat Aldi sejak kecil.
"Oh, kok pindah?"
"Iya. Kata sutradara ada spot bagus di sana."
Aldi hanya mengangguk lalu menenggak habis air putihnya.
***
Rambut sepunggung yang dimiliki Maddie terurai bebas. Ia suka situasi ini. Dia sedang berada di tempat favoritnya di sekolah.
Rooftop.
Angin sepoi-sepoi menggelitiki leher Maddie. Bajunya yang sedikit longgar jadi menggelembung karena angin. Tapi, tentu saja Maddie tidak terganggu, karena dia sendirian.
Di tempat ini, dia meluapkan semua unek-uneknya pada langit. Meskipun tidak ada respon, Maddie tetap senang melakukannya. Ia merasa langit mendengarkan keluh kesahnya.
Maddie bukannya kesepian. Dia memiliki banyak teman. Namun terkadang, ada hal-hal tertentu. Maddie tahu, ia tidak boleh terus-terusan begini. Curhat pada langit lalu tidak mendapat saran atau solusi.
Setelah puas bersantai di rooftop, Maddie beranjak ke kelasnya. Dia melangkah gontai ke arah pintu besi berwarna abu-abu dan menarik gagangnya.
"Hai, Maddie!"
"Kak Maddie!"
"Halo, Di!"
"Hai, Kak Maddie!"
Berbagai ucapan itu merasuk ke telinga Maddie kala dirinya melewati koridor sekolah. Tapi, dia sudah terbiasa dan hanya merespon dengan senyuman tipis. Dia bukannya ingin dinilai cuek atau apapun itu.
Dia hanya lelah berteman dengan orang yang numpang tenar padanya.
"Di! Maddie!" seru seseorang.
Maddie menoleh. Oh, itu Ellen, orang yang dianggapnya sahabat. Karena menurutnya, Ellen adalah teman yang benar-benar teman.
Bukan yang hanya datang saat membutuhkan.
Maddie mengernyit. "Kenapa?"
"Gue tadi cari lo di rooftop. Gak taunya udah turun," jawab Ellen sambil ngos-ngosan.
Maddie terkekeh, "Emang kenapa?"
"Tadi lo dipanggil sama Pak Ardi. Lo disuruh ke ruang OSIS kalau pulang sekolah nanti."
"Oh, gitu," Maddie mengangguk-angguk. "Lo gak masuk? Dua menit lagi bel bunyi."
"Ya, iya. Gue kan abis nyariin lo. Gimana sih oneng," tukas Ellen kesal.
"Itu sih urusan lo, ya."
Ellen hanya memutar matanya, "Tau ah."
Lalu dia berjalan duluan di depan Maddie.
"Len! Tungguin gue kenapa, sih?" gerutu Maddie.
***
Hal lain yang dinantikan siswa selain bel istirahat adalah bel pulang sekolah. Meskipun suaranya nyaring dan sangat memekakkan telinga, para siswa merasa sedang mendengar lagu kesukaan mereka.
Suara bel pulang memang indah.
Maddie telah memasukkan seluruh barangnya yang ada di atas meja ke dalam tas ransel berwarna electric blue-nya.
"Len, temenin gue dong," rengek Maddie pada Ellen yang sedang mengikat rambutnya.
"Iya gue temenin. Tapi sabar dulu," sahut Ellen.
Maddie mengangguk. "Gue tunggu di depan kelas, ya," katanya, lalu pergi ke luar kelas.
Lima menit Maddie menunggu, Ellen belum juga keluar. Ia memperhatikan sekelilingnya sembari tersenyum saat ada menyapanya.
Delapan menit menunggu, Maddie mulai tidak tahan. Dengan kasar dia membuka pintu kelas.
"ELLEN! Lo lama banget, sih?" pekiknya sambil misuh-misuh tidak jelas.
Yang diteriaki hanya menjawab santai, "Gue sengaja biar lo pergi sendiri aja. Eh, gak taunya masih setia sama gue."
"Ellen. Jangan bercanda dulu, ah," tandas Maddie sambil menarik paksa tangan Ellen.
Ellen memamerkan cengirannya yang malah tambah membuat Maddie jengkel.
Maddie masih sambil menarik tangan Ellen, setengah berlari menuju ruangan OSIS untuk bertemu Pak Ardi, guru kesenian di sekolahnya sekaligus pembina OSIS.
"Permisi, Pak. Bapak memanggil saya?" kata Maddie sopan saat bertemu Pak Ardi di depan ruang OSIS.
"Iya, Maddeline. Saya ingin kamu mempersiapkan sekolah kita sebaik mungkin bersama pengurus OSIS yang lain," jawab Pak Ardi.
"Dalam rangka apa ya, Pak? Perasaan, tidak ada perayaan istimewa bulan ini," ujar Maddie heran.
"Ya, benar. Tapi dua hari lagi, sekolah kita akan dijadikan salah satu lokasi syuting untuk sebuah film. Jadi, kita akan kedatangan beberapa artis."
"Artis, Pak? Bapak serius menerima kedatangan mereka, hanya untuk syuting?" tanya Maddie setengah tak percaya.
"Iya, Maddeline. Tolong kamu dan Ellena beritahu pengurus OSIS yang lain," jawab Pak Ardi.
"Baik, Pak. Kalau begitu, saya dan Ellen permisi dulu," pamit Maddie.
Perlahan, Maddie dan Ellen menjauh dari ruangan OSIS. Maddie mulai berceloteh panjang lebar kepada Ellen.
"Kok lo marah-marahnya ke gue, sih?" Ellen memotong celotehan Maddie sambil mendecakkan lidahnya.
"Lo kan sekretaris OSIS. Harus turut merasakan penderitaan gue, dong," balas Maddie.
"Ah, lo mah kebiasaan. Gue juga kan, yang kena."
"Bantuin gue ya, Len?" pinta Maddie memelas.
"Gak ah. Bete gue sama lo," desis Ellen.
"Dih. Gak asik lo. Emangnya lo gak pengen ketemu artis?"
"Eh iya. Kira-kita artisnya siapa, ya, Di? Semoga Aldi yang dateng," khayal Ellen.
"NGGAK! Maksud lo Aldian Trevor, kan?"
"Iya. Kenapa emang?"
"Nggak. Jangan dia yang dateng. Gue gak suka banget sama dia," timpal Maddie sambil menyelipkan sejumput rambutnya ke belakang telinga.
"Kenapa sih, dari awal dia muncul, lo gak suka banget sama dia?"
"Gak ada alesannya, kok. Gak suka aja, gitu."
"Gak jelas lo, Di," tukas Ellen datar.
***
Soooo, the first part was written. Jangan lupa vote 😂
-K

KAMU SEDANG MEMBACA
My Lovely Haters
Fiksyen RemajaApa yang kalian pikirkan kalau denger nama Aldian Trevor? Itu lho, cowok ganteng blasteran yang sekarang populer karena debutnya dalam film layar lebar. Tapi dia punya haters. Cowok imut kayak dia, siapa yang bisa benci sih? Nggak percaya? Kenalan...