IV

4.3K 382 2
                                    

Happy Reading
~
~
~

"Mei, lo enggak mau cerita?"

Pukul sembilan pagi sudah terhitung ramai di lingkungan kampus, nyaris semua fasilitas gazebo sudah terisi oleh anak-anak kuliahan. Entah sedang duduk sendiri dan sibuk dengan ponsel; membaca sebuah buku, mencatat atau mengerjakan tugas. Ada juga beberapa mahasiswa yang bergerombol dalam satu gazebo entah sedang mendiskusikan apa. Termasuk Meisya dan Arumi yang menempati satu unit gazebo berukuran mini ini hanya berdua. Dengan Arumi yang dipaksa Meisya untuk sarapan dari kotak bekal yang selalu Meisya bawa.

"Cerita apa?" tanya balik oleh sang lawan.

Tatapan Arumi berpindah ke arah lain, terlihat jelas Arumi berusaha semampu yang dia bisa untuk mengendalikan diri agar tak mendengus. Sahabatnya ini bisa jadi kesal dengan sikapnya yang sok independent.

"Gue berasa jadi sahabat yang ga tahu apa-apa tentang lo deh, Mei." Arumi kembali buka suara, bibirnya mengerucut.

"Tadi, kenapa lo buru-buru sampai lupa bawa binder?"

Tak tahan Arumi mendengus, tahu betul tabiat sahabatnya yang mencoba mengalihkan pembicaraan.

"Bang Sem mood nya lagi jelek. Biasalah sepupunya Abra emang moody-an." tak pelik, Arumi tetap menjelaskan. "Orangnya resek kalau badmood bikin hari tambah sumpek kalau pagi-pagi berurusan sama dia. Makanya gue buru-buru, salah deh kenapa bisa kamarnya disamping kamar gue. Pagi-pagi udah ngomel mirip emak-emak. Kasian banget deh yang bakal jadi bininya."

Secara sengaja Meisya menggerakkan kelopak matanya tuk memejam, mendengar cerita Arumi hatinya kembali gondok dikuasai oleh rasa kesal yang luar biasa pada Arif. Meisya selalu pede dengan asumsinya tapi dia tak bisa menyambut baik begitu tahu ada orang lain yang tahu isi kepalanya.

"Lo aneh tau gak Mei, gini ya... Orangtua lo berkonflik aja lo enggak ngeluh dan cerita sama sekali, lo menyimpan beban lo sendiri. Gue, Ayu, Abra, Ajeng sama Beni aja gak tahu lo punya masalah pelik. Tahu-tahu berita bonyok lo cerai langsung tersiar. Dan..." Arumi menarik napas, dia membuka tutup botol tupperware lalu meminum isinya beberapa teguk. Setelahnya ia mengusap bibirnya dengan punggung tangan. Arumi tak tahan harus ikut diem-dieman kalau feelingnya mengatakan ada yang tak beres.

"Meskipun itu muka lo ga konsisten, kadang berekspresi kadang lempeng gitu aja. Gue udah hapal mati, lo ada masalah? Akhir-akhir ini makin lu diem makin gue curiga. Satu lagi, waktu lo ngasih gue ultimatum kalau gue potong rambut sebahu bukan berarti gue buang sial cuma butuh penampilan baru aja. Sekarang pertanyaan gue, ngapain lo ikut-ikutan juga potong rambut? Pixie cut pula. Ekstreem tauk Mei. Plis jawaban lo jangan karena butuh penampilan baru juga, meski gue orangnya disorientasi arah gue enggak amnesia. Lo sendiri yang bilang udah nyaman sama model straight. Kenapa jadi pindah haluan?"

Ocehan Arumi memperparah suara-suara di kepalanya. Seakan ada yang menusuk-nusuk kepalanya, Meisya cuma bisa menatap Arumi dengan tatapan yang ia siratkan sebuah emosi; jemu.

"Kenapa? Lo cerita deh sama gue. Gue jadi merasa bersalah banget loh. Kedudukan gue nih sebagai sahabat, sering lo bawain makanan masa cuma buat jadi pendengar enggak bisa Mei? Seenggaknya seperti kata orang-orang, ceritain masalah sama dengan bikin hati lega dan ringan. Share dong beban lo ke gue."

Bujuk rayu yang terkesan memaksa tak bisa dibiarkan semakin lama oleh Meisya, gadis itu membuang napas lalu mulutnya perlahan bergerak, "sudah lumayan lama sejak kejadian ospek itu," ragu-ragu. "Pak Randy sering banget main ke rumah."

The Scenario (Different Grooves)✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang