II

7.5K 550 35
                                    

Pernah dengar stereotype bahwa orang yang menggunakan kacamata artinya cerdas sekaligus nerd? Arif sudah ribuan kali sejak kecil dikira cerdas padahal cerdas tidaknya seseorang itu tergantung dari seberapa usaha untuk belajar dan mencari tahu. Terus meng-explore lebih dalam demi sebuah insight. Dan impact nya juga enggak akan jauh-jauh dari kita kok. Arif tipe orang yang selalu penasaran saat menemukan hal-hal baru. Untuk itu, dia begitu kesal sewaktu banyak orang yang mengatakan;

"Arif mah udah pinter dari orok, mau gimanapun tetep pinter."

"Rif, lo kapan bego nya sih? Udah beasiswa dapet masa cewek-cewek ngikut juga?"

"Kebanyakan dapet wangsit. Kapan-kapan traktir nongkrong di tempat fancy dong Rif. Lo kan lumayan banyak cuan dan extra smart."

"Boleh minta otak kiri aja, ga Rif? Tukeran." kikik mereka kompak.

"Rif lo kok nerd banget sih, ga capek baca buku melulu? Itu minus dah nambah berapa?"

Arif tidak akan menjawab guyonan bernada beragam itu dia malah akan mengalihkan pertanyaan lain yang jauh-jauh dari kacamata. Pernah sekali ia mencoba menggunakan softlens sayangnya sangat tidak nyaman. Kiara dan Tari sampai bekerja sama membuat schedule membagi tugas kapan dan siapa yang akan memasang sekaligus melepaskan softlens tersebut. Arif terlalu takut. Skenario akhirnya Arif menyerah, biar dikata menggunakannya sama dengan memiliki mata normal tetap saja ia bisa merasa ada benda aneh di dalam matanya. Dan itu... Mengganggu. Persetan dengan penampilan.

Kembali dengan kalimat persetan dengan  penampilan, Arif sepertinya keliru soal memandang lebih jauh kepribadian tante nya Tari, Meisya. Agaknya ia sudah seperti teman-temannya yang tak punya nurani ini.

Meisya yang ia lihat dari ruang tengah ini sedang membuat risoles mayonise, dia terlihat telaten dan serius. Bisa jadi, keberadaannya di ruang tengah pun tak disadari oleh Meisya. Soal pakaian, sore itu dia keliatan lebih normal sebagai anak perempuan, menggunakan babydoll berlengan pendek dan tubuhnya dibalut celemek yang terkesan girly dengan gambar seekor rabbit yang menggunakan kacamata bergagang hitam.

Tante Dewi, ibunya Tari dan bibi sama-sama mengamati proses pembuatan masakan ala-ala Meisya tanpa membantu sedikitpun. Sore itu, dapur milik Meisya seorang.

Sepintas, Arif tersenyum geli melihat kedua ibu-ibu itu.

"Jadi tiba-tiba ada yang nanya valuasi bisnis kita?"

Suara serak khas pria paruh baya membuyarkan perhatian Arif. "Iya om."

"Memang kamu ada rencana mengakuisisinya?"

"Enggak lah om, kita udah capek-capek rintis masa sebegitu mudah dilepasin? Ya walau usahanya masih dalam skala pertumbuhan tapi saya tidak mungkin melepaskan usaha ini. Dan kalaupun saya berniat untuk melepaskan sudah pasti saya diskusi dulu dengan om."

"Ga ada masalah internal?"

"Gak ada om."

"Kalau begitu kesimpulannya cuma satu."

"Apa om?"

"Prospek usaha kita ini ke depan menjanjikan, makanya teman kamu itu pengin ambil alih. Jangan sampai kamu malah  loss. Kamu harus serius riset kebutuhan pasar, atau kalau kamu sudah memutuskan tinggal cari alternatif lain untuk membuat variasi untuk sebuah produk baru kita bantu suplier karena kita juga pasti kena getahnya. Tinggal bagaimama cara kamu untuk tekhnik marketingnya biar bisa dikenal dan banyak yang order. Tahapan introduce sepertinya sedang berjalan, kan?"

Arif mengangguk, "iya om. Saya juga punya rencana membuat website khusus untuk perusahaan kita." Arif nyengir.

"Bagus, sekarang malah sudah banyak perusahaan-perusahaan unicorn yang bergerak di Indonesia kita juga mesti upgrade kan, Rif?" pak Hasan tertawa.

The Scenario (Different Grooves)✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang