XI

2.8K 310 7
                                    

Happy Reading
~
~
~

Selayaknya orang pada umumnya yang kerap disorientasi begitu siuman, hal itu juga dialami oleh Meisya.

Dentang jarum jam yang terdengar lebih nyaring dikala sepi, remasan kecil di tangan kanannya, serta siluet gorden yang kontras dengan warna senja keemasan yang sempat-sempatnya menyelinap antara cela yang tersisa.

Atensi Meisya bertubrukan dengan netra mata tua. Keriput di sudut mata dan bibir menandakan wanita itu memang telah berusia senja, seumuran dengan orangtua Tari. Remasan di tangannya menguat, lengkungan di kedua sudut bibir itu melebar serta hembusan napas lega dapat diterka.

Memori Meisya dipaksa untuk mengingat kepingan yang harusnya tetap ada. Dimana dia sebelumnya, apa yang telah terjadi dan mengapa ibu nya bisa datang ke sini?

Bola mata Meisya bergerak liar, mencoba mencari sosok lain yang mungkin ada di dalam ruangan yang ia gunakan beberapa bulan terakhir ini, kamar bekas Leo.

"Mami kenapa bisa di sini?"

Suara lemah Meisya mengudara.

Dapat Meisya lihat senyum tipis yang mirip dengan miliknya terpahat di wajah itu. Sebuah senyuman yang terkesan pahit dan pilu.

"Dewi telfon mami, katanya kamu pingsan."

Tangan kanan Meisya terangkat ingin menggaruk kepalanya yang tak gatal yang baru ia sadari tertanam infus menyalurkan cairan.

"Kok bisa?"

Wajah polos penuh kebingungan tercermin jelas di wajah Meisya, keningnya yang mengerut dalam pertanda ia sedang berpikir keras.

"Katanya tadi pagi kamu ke warteg keluarganya..." jeda, mungkin ibu Meisya melupakan satu nama yang harusnya beliau ingat.

"Mas Arif?"

"Iya, si Arif. Katanya setelah denger suara ambulans dan nangis Syasya pingsan, Sya masih takut sirine?" tanya ibunya lembut.

Selain sadar bahwa ingatan sebelumnya adalah nyata Meisya memalingkan muka, seakan menolak tuk menjawab pertanyaan maminya. Wajahnya langsung muram, denting jam kembali terdengar nyaring. Meski tak tahan dengan sepi yang masih dipertahankan tanpa ada niatan tuk dihempas, ibu Diana setia menanti jawaban dari putri tunggalnya. Sampai pintu kamar kini terkuak dibuka dari luar. Kontan Meisya dan bu Diana menolehkan wajah ke arah yang sama.

"Syasya sudah bangun?" bu Dewi mendekat membawa nampan diatasnya terletak beberapa dosis obat suntik. "Gimana perasaan kamu Sya? Sudah baikan?"

Setelah meletakkan nampan di atas nakas bu Dewi meremas bahu kanan ibu Diana seolah tahu gejolak jarak yang terbentang antara ibu dan anak itu.

Kepala meisya terangguk, "udah enakan kok, enggak apa-apa malah. Mas Arif tadi ga kaget kan, mbak?"

Situasi di luar makin gelap, bu Dewi berinisiatif menghidupkan lampu di ruangan kamar Meisya.

"Kaget lah si Arif, dia ga tahu apa-apa tentang kamu liat kamu pingsan setelah panik dan ketakutan gitu Arif langsung telfon mbak, jadinya kamu langsung di bawa ke sini."

Meisya berdecak. "Padahal kan... Aku udah biasa begini."

Sorot mata tua ibu Diana makin meredup sendu, napasnya seakan tercekat, pilu merambat cepat merongrong dadanya. Sesak.

Bu Dewi mendesah, dia kembali mendekati ranjang meremas bahu ibu Diana seolah mentransfer kekuatan.

"Tapi ini bukan perkara mudah untuk kamu kan, Sya? Kenapa kamu tidak jujur saja kalau kamu butuh pertolongan? Kalau ini bukan apa-apa dan sudah biasa kamu tidak akan semudah ini untuk pingsan. Jalur ambulans bisa dimana saja. Kamu tidak bisa terus menghindar."

The Scenario (Different Grooves)✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang