IX

3K 309 5
                                    

Happy reading...
~
~
~

Telur ceplok yang dicocol sambal matah bagi Arif itu sudah makanan istimewa terlebih-lebih disituasi genting lapar melanda, lagipula Tari bisanya cuma buat itu doang. Bibi sedang tak di rumah, sedang ke pasar membeli bahan makanan yang sudah habis sekalian nyetok untuk kebutuhan seminggu.

Sebuah kertas yang di tempel oleh Meisya dengan maghnet kulkas berbentuk miniatur salah satu product makanan merupakan list menu dari senin sampai minggu. Benar-benar kreatif sekali anak itu, Meisya mungkin menganggap menu yang bervariatif membuat penghuni rumah betah makan makanan rumahan alih-alih di luar.

"Pelan-pelan Rif, gue aja amit-amit makan makanan buatan gue sendiri. Emang seenak apa sih sambal matah gue?"

Arif mendongak mulutnya yang penuh sedang tak bisa diajak bicara, dia mengunyah cepat sekaligus minum air.

"Bukan enak enggaknya, Ta. Gue laper. Jadinya rasanya jadi enak aja."

Tari mendecih, tangannya cepat mengambil piring sambal matah dan telur ceplok buatannya tanpa bisa dicegah oleh Arif.

"Kata lo amit-amit, Ta!" Arif menatap nelangsa pada piring yang berada dalam jangakauan Tari. Makannya nanggung banget.

"Tapi gue juga punya harga diri, gue ga mau ngasih makan sama orang yang melecehkan karya gue."

"Melecehkan gimana? Yang ada lo yang melecehkan makanan buatan sendiri."

"Ini ada apaan sih?"

Meisya yang baru turun dari kamarnya mencuci tangan di westafel dulu sebelum dia beralih pada Tari kemudian mencomot telur dan dicocol dengan sambal matah.

"Enak," gumamnya setelah mendeteksi rasa, dia manggut-manggut.

Konsentrasi Tari bukan soal komentar Meisya, melainkan penampilan gadis itu. Yang bertubuh mungil menggunakan ripped jeans dan hoodie berwarna army yang kebesaran, tubuh bagian atas seakan tenggelam.

"Wah!!  tante makin imut, ya?"

Mendengar tanggapan berbeda dari Tari Meisya hanya mengedikkan bahu dan membuka kulkas.

"Bibi belum pulang, kak?"

"Belum, tante mau eksperimen lagi? Btw, tante bukannya mau jalan sama pak Randy?"

Muka Meisya yang biasa datar hanya memperlihatkan wajah tak suka. "Aku ga punya kewajiban harus jalan sama dia seminggu sekali."

Tari terkekeh, kedipan matanya bermaksud menggoda. "Loh? Sekarang proses penjajakan kan, tan?"

Arif mengambil kesempatan merebut piring dalam dekapan Tari berhubung sahabatnya itu fokus ngobrol dengan tante nya. Tari awalnya melotot garang tapi ya sudahlah, toh dia juga tak akan memakannya.

Meisya menghela napas, dia menuangkan susu ke dalam gelas sambil menanggapi. "Ga mau punya hubungan kalau orientasinya ya cuma sementara, maunya serius. Masalahnya sekarang aku lagi ga mau membina hubungan dalam tanda kutip. Masih kecil, kak. Baru juga masuk sembilan belas."


Arif menghentikan sendok yang akan masuk ke dalam mulutnya. Hey!! Ini gadis kecil yang punya perangai fantastis, polos dan cuek, punya hobi yang tak sinkron dengan kepribadiannya dan ya ampun... Pola pikirnya bikin Arif tertegun.

The Scenario (Different Grooves)✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang