XVI

2.6K 294 4
                                    

Happy Reading
~
~
~

Seperti mimpi.

Dulu Meisya tidak pernah membayangkan bahwa masa depannya akan seperti ini. Dia terbiasa terkurung oleh larangan-larangan yang bersumber dari Ayah nya, dia tak pernah sekalipun menginap di rumah teman, pulang lewat dari jam sembilan malam bahkan dia tak lepas dari pantauan ayahnya via WhatsApp. Terkadang, Meisya mensyukuri amarah yang menggunung dalam hatinya ini memicu sebuah keberanian tuk menentang segala aturan.

Tinggal bersama sepupu nya termasuk pilihan tanpa syarat yang diinginkan oleh Meisya. Tak ingin diganggu gugat, dan tak mau lagi dikekang. Lagipula dia bukan anak nakal meski Ayahnya terkadang suka mengkritiknya.

Langkah kakinya yang panjang menandakan bahwa dia memang buru-buru, gemas waktu mulai makin menipis ia akhirnya memutuskan berlari kencang menuju aula dimana Arumi akan tampil dalam sebuah pagelaran teater, memang bukan pemeran utama tapi setidaknya Arumi memainkan sebuah peran penting. Kemampuan sahabat nya dalam berakting di atas panggung tak perlu diragukan. Jangankan di panggung kadang di panggung kehidupan ia kerap bersandiwara.

Meisya masuk ke dalam aula setelah menyerahkan tiket pada petugas yang tak lain juga anak Sanggar, mereka menyapa Meisya hangat. Begitu masuk ia langsung disambut oleh kawan-kawannya yang mau melowongkan waktu ke Depok.

"Gimana tadi ke psikiater?" Tanya Ajeng perhatian.

"Bagus."

"Elo nyaman kan ngobrol sama si Bu dokter?" Tambah Beni yang tak kalah berempati.

Meisya mengangguk.

"Progresnya?"

Beni menabok kepala Abra.

"Eh, oncom! Bego nya you ga usah masuk. Ya kali perdana main nanya progres."

Abra tersenyum kecut.

Para gadis terkekeh geli kecuali Meisya, cukup dengan senyum tipis ala dirinya.

"Pertemuan perdana, ngapain Mei?"

"Assessment aja sih, ngalir gitu aja."

Mereka kompak mengiyakan.

"Padahal kalo lo diajak ngobrol heart to heart susah banget." Dumel Abra bersidekap.

Demi menenangkan kesinisan Abra ini, Meisya mempersembahkan senyum cantik yang jarang ia keluarkan.

"Enggak usah senyum Mei, lakik lo gak keluar."

Meisya tergelak, dia menyentuh rambutnya yang mulai tumbuh panjang. Terkadang dia masih merana soal model rambut nantinya.

"Diantar sama pak Randy ya, Mei?"

Jangan ditanya itu siapa. Bibir Meisya seketika menipis masam begitu ditanyai soal Randy. Dia kira ceritanya bisa usai sesuai kehendak, tapi rasanya sukar juga kalau orang-orang di sekelilingnya tahu soal Randy. Jangankan Ayu, keluarga nya yang terdiri Bu Dewi, pak Hasan, Leo bahkan Tari gencar sekali menanyakan Randy yang sudah jarang bertandang. Sementara itu si penanya menebar pandangan ke segala arah, mencari sosok yang diharapkan.

"Sama mang Abdi, Ay."

"Yaaaah.." seru nya kecewa. Beni hanya geleng-geleng kepala.

"Maklum ya Mei, yang di otak nya isinya cuma cowok."

"Cowok ganteng!" Tambah Ayu terkekeh happy seorang diri.

"Kalian udah dari tadi nyampe?" Tanya Meisya, berusaha mengalihkan topik dari Randy.

The Scenario (Different Grooves)✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang