Happy Reading
~
~
~Apakah wajar selepas konflik semua berjalan dengan semestinya? Maksudnya, seakan tak terjadi apa-apa. Meisya mungkin tipe orang yang tidak suka membesar-besarkan masalah bahkan cenderung cuek, dibalik sikap pendiamnya justru setelah dikritik oleh Arif sikap pendiamnya lebih parah berkali-kali lipat. Dia hanya akan merespons para lansia dan anak-anak, dia lebih suka berbicara lewat tindakan dan senyuman, pun membantu rekan relawan tanpa banyak protes. Candaan yang beberapa kali terlontar oleh rekan yang lain dibalas dengan tawa serupa, tak lebih. Dia berusaha se-ramah mungkin agr orang lain merasa nyaman meski ada kekacauan semalam.
"Siang ini, rencananya mau masak menu apa, mbak?" Sukses dengan aksi diam, Meisya bertanya pada Ria aktivis Jaksel.
"Oh itu, kita masak makanan khas Bandung aja biar pas di lidah semua orang. Kata Arif kamu bisa masak ya? Bagus dong, bisa bantu-bantu kami demo masak nanti. Meisya ikut kita ke pasar mau? Naik mobil pick up sih, sekalian kamu lihat pasar di kampung, seru lho!"
Kepala Meisya terangguk, bibirnya pun mengurva tipis sebagai jawaban. Ria yang melihat itu maklum, setiap orang tentu punya karakter berbeda-beda.
Tak banyak yang ikut ke pasar, sebagian memilih tinggal di rumah untuk bersih-bersih sekalian menyiapkan beberapa hal sebelum aksi masak-masak untuk makan besar.
Arif bertugas menjadi supir, Meisya dan lainnya duduk di belakang. Masyarakat di kampung ramah-ramah, volunteer yang berada di mobil pick up merasa hati menghangat dengan sambutan ramah yang mereka dapatkan sejak beberapa hari yang lalu.
Untuk sesaat, kegiatan ini mampu melumpuhkan ingatan betapa serakahnya pada ambisi, kapitalis yang menyesakkan, uang yang membutakan serta hal-hal yang dihalalkan demi sebuah pencapaian. Untuk sesaat, pikiran kembali waras, betapa nikmatnya kesederhanaan dan tersadar akan tujuan manusia. Kebaikan, kedamaian.
"Dis, semua bahan-bahan Cuanki, nasi timbel, colenak, sama es Goyobod udah di sini semua kan?" Seorang laki-laki yang Meisya tak ingat siapa namanya menanyakan berbagai kebutuhan yang tertulis dalam sehelai kertas yang penuh tulisan.
"Udah atuh, A' banyak cincong. Buru, kudu dieksekusi, entar kita telat."
"Ya dikonfir dulu lah, biar ga salah ntar."
Arif tiba-tiba mengambil alih kertas dan membaca semua bahan-bahannya dengan cepat, "udah semua kok ini, kita mencar aja kali ya. Biar cepet. Karena kita enam orang, bagi tiga tim. Tim satu beli bahan-bahan Colenak sama es goyobod, tim dua beli bahan-bahan nasi timbel, tim tiga bahan-bahan untuk Cuanki."
"Oke, gue setuju."
"Aku juga, mas. Aku bagi timnya ya," ucap Disa. "Aku tim satu sama Lia, tim dua kamu sama Meisya," Disa seperti memberi jeda sejenak untuk melihat ekspresi sekaligus respons, namun tak ada yang komplain, aman. Maka ia melanjutkan. "Tim tiga Edo sama Gendis."
Semua berpencar setelah memotret bahan-bahan resep menu sesuai pembagian, Meisya berjalan disamping Arif tanpa banyak bicara, dia yang memotret. Tiap kali menemukan bahan yang dibutuhkan, Meisya akan menarik lengan jaket Arif dan menunjuk apa yang ia maksud. Arif juga lah yang lebih banyak berkomunikasi dengan penjual.
Arif diam-diam mengamati Meisya yang tampak biasa, dan sepertinya hanya dia sendiri yang merasa canggung atas perkara semalam. Meski Meisya hanya diam, dari segi ekspresi dan gestur seakan tak terjadi apa-apa. Namun, berbanding terbalik dengan Arif yang kikuk di sampingnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Scenario (Different Grooves)✓
General FictionCerita ini terangkum dalam tujuh kata, "Cinta dan jodoh itu skenario takdir Tuhan." Arif percaya kalau siapapun di belahan bumi ini memiliki kisah cintanya masing-masing. Unik, lucu, menggemaskan, tragis, menyedihkan atau malah malu-malu in? Tapi Ar...