XXII

2.7K 294 2
                                    

Happy Reading
~
~
~


Arif dan Meisya sampai di tempat tujuan dengan selamat mereka sudah disambut oleh beberapa anggota komunitas yang juga sedang menjadi relawan sejak beberapa hari yang lalu. Besok adalah hari terakhir.

Seperti pada umunya pedesaan di kota Bandung masih terlihat asri, cuacanya juga semakin dingin menjelang malam. Meisya tipe yang susah beradaptasi hanya bisa diam sambil menyunggingkan senyum tipis tiap kali ada yang menyapanya.

Bangunan tua bergaya vintage masih dilestarikan, bukan hanya menerima tunawisma, tempat itu menjadi panti asuhan sekaligus panti jompo. Meisya tidak bisa membayangkan mereka semua berbaur di sini. Meski bangunan ini luas, bagi Meisya ini jauh dari kata proper.

"Mas Arif kok ga bilang-bilang udah nyiapin keperluan buat disumbang?"

Meisya bersidekap, ia menatap Arif tajam dengan lancang. Arif nampak tak acuh, "kamu ga nanya."

Meisya menarik napas panjang, dia kesal karena datang dengan tangan kosong.

"Kalau ego kamu terluka ga bawa apa-apa, kamu kan bisa nyumbang tenaga."

"Semua orang juga bisa yang itu kali," ketus Meisya tak menyembunyikan kekesalan nya.

Arif menghentikan aktivitasnya menurunkan beberapa kardus dari dalam mobil, salah satu anggota komunitas Peduli Sesama yang menghampiri berniat membantu Arif mengangkut semua barang tersebut ke dalam rumah Arif mencegat dan memohon maaf meminta waktu bersama Meisya dulu.

Tatapan serta gestur Arif nampak serius, tubuhnya benar-benar menghadap Meisya. Dia sadar bukan siapa-siapa, tetapi dia ingin Meisya lebih cepat menyadari.

"Saya paham kenapa perangai kamu ga begitu baik, Mei."

Meisya terkejut, Arif mendadak membahas soal attitude nya.

"Kamu anak tunggal, orangtua kamu memperlakukan kamu dengan sangat (sejenak Arif terdiam) baik (tak seutuhnya benar). Sejak kecil sudah dikenalkan soal status keluarga yang artinya kamu setingkat dengan orang yang 3 kali lebih tua dari kamu. Lancang, frontal dan ketus adalah ciri khas kamu. Kamu berkaca soal status keluarga. Bagi saya itu tidak bisa menjadi pembenaran tapi saya maklum karena kamu tidak seutuhnya salah. Yang mendidik kamu dan proses otak mu yang berpikir juga punya peran di sana."

Arif diam, memberi jeda melihat Meisya yang terpaku. Arif menunggu respons namun tak kunjung ada. Maka Arif merasa ia perlu melanjutkan pengamatannya selama ini.

"Sikap egois yang didapat sejak menyadari kamu anak tunggal dan semuanya serba dituruti, kamu juga kerap bersikap kurang sopan pada orangtua Tari atau pada anggota keluarga besar kamu yang lain yang memiliki status keluarga yang setara atau dibawah kamu, saya harap di sini kita sama-sama bisa introspeksi dan melihat diri kita seutuhnya seperti apa. Dan kelak apa yang ingin kita ubah."

Meisya melangkah mundur, tatapannya berubah murka dan berkaca-kaca, Arif yang menyadari perubahan itu melangkah mendekat tapi Meisya segera berbalik dan berjalan cepat. Namun Arif masih bisa menyamai langkah sampai ia mampu mencegat Meisya.

Tak pernah dalam hidupnya orang-orang mengkritik betapa pendiam, ketus, jutek nya dia saat berbicara apalagi soal sikapnya yang frontal dan cuek. Selama ini Meisya bersikap tak peduli. Hidupnya ada dalam genggamannya tidak seorangpun bisa masuk dalam zona teritorialnya.

"Mei, maaf. Saya sama sekali ga bermaksud untuk mengkritisi kehidupan kamu tapi saya berusaha untuk menjadi cermin."

Arif memaksa agar Meisya menghadapnya. Dengan kepala tertunduk, rahang yang mengetat, napas yang terengah-engah serta kedua tangan yang mengepal, kepala Meisya terangkat ia menatap Arif penuh amarah.

The Scenario (Different Grooves)✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang