V

3.6K 345 4
                                    

Happy reading
~
~
~

"Lo enggak ke kampus?"

Kepala Tari menoleh ke arah kiri, pandangannya langsung tertumbuk pada seseorang yang berdiri di sliding door yang menghubungkan antara kamarnya dan balkon. Berhubung masih pagi, Tari suka berlama-lama di balkon sebab kamarnya berada di sebelah barat dan kebetulan juga dia memang tak suka terpapar sinar matahari, sekalipun itu pagi.

"Ngapain? Gue lagi enggak ada urusan di sana."

Tangan kanannya meraup rambut, inginnya menjambak. Pusing sekali harus revisian dan mencari referensi sekaligus keluar rumah untuk riset.

Arif mendekati Tari, sedikit membungkuk lalu mengarahkan tangannya menggerakkan kursor laptop. Ia membaca beberapa lembar. Ekspresinya terlihat serius kadang keningnya mengkerut lalu datar lagi, setelah itu mengangguk-anggukkan kepala. Sudah mirip dospem labil nya Tari kalau lagi tak banyak ngomong saat bimbingan.

"Udah mulai oke, tinggal gimana cara lo ngatur mood."

Arif sangat amat kenal dengan Tari.

"Ngomong soal mood, lo ngapain di sini? Enggak kerja? Inget ya, Rif. Tante Syasya walaupun dia lebih muda dari gue, gue sangat menghargai keberadaan dia di sini. Dan lo buat dia jengkel, lo enggak punya i'tikad baik buat baikan sama dia?"

To be honest, Arif baru kali ini lihat Tari seserius ini.

"Gue juga ngerasa bersalah kok."

"Terus?"

"Gue pasti bakal minta maaf, tapi waktunya enggak sekarang."

"Masalah kalau tidak dibereskan secepatnya justru bikin penyakit Rif."

Kepala Arif menggeleng tak sependapat, dia mengambil tempat di salah satu kursi rotan di depan Tari. "Dia butuh waktu. Kalau gue terlalu agresif yang ada dia malah tambah kesel. Dan enggak mau ketemu gue. Sama kayak yang lo cerita, Meisya sering ngehindar dari pak Randy, kan?"

Tari tak menjawab tapi ia tahu apa yang dikatakan Arif ada benarnya

"Rif?"

"Hmm?"

Tari menjatuhkan dagunya ke atas meja, dengan bibir mengerucut ia berujar, "gue sebenarnya cuma bercanda."

"Bercanda? Soal?"

Tari menatap Arif sungguh-sungguh, perasaannya campur aduk. Entah harus sedih atau khawatir.

"Nge-jomblangin Pak Randy dan tante. Selama dia tinggal di sini, so far baik-baik aja sih apalagi kalau lagi main sama Sophi dia sering tertawa. Tapi ya gitu, kalau lagi enggak ngapa-ngapain mukanya kayak datar-datar aja, gue ngerasa dia masih merasa sepi dan sedih soal perceraian orangtuanya," diakhir kalimat Tari mendesah setelah mengeluarkan unek-uneknya.

"Bukannya ekspresinya memang begitu?"

"Orang pendiem itu saking misteriusnya harus dikhawatirkan Rif. Kita enggak tahu apa yang dipikirannya gue takut kalau tante gue stress atau gimana gitu. Mama juga cerita ke gue, apalagi waktu kemarin dia motong rambutnya. Mama yang keliatannya selow sama tante juga agak was-was. Jadi, lo jangan heran deh kalau tadi bokap gue agak nyinyir ke elo. Gitu-gitu tante sepupunya paling bungsu dan tersayang."

Arif mengangguk paham dia mengerti, "terus lo mau ngapain?"

Bahu Tari terangkat, dia benar-benar kehilangan ide. Kewarasannya sudah tersedot oleh tesis dan omelan dospem.

"Dia suka masak kan?" tanya Arif sekadar basa-basi, dia tahu kemampuan memasak Meisya jauh lebih baik dari Tari yang hanya bisa buat telor ceplok dan sambal matah.

The Scenario (Different Grooves)✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang