XXVII

3.2K 313 5
                                    

Happy Reading
~
~
~

Arif kini duduk di atas motor matic andalannya, seorang diri. Di halaman parkir tempat praktik dokter Franda.

Selama nyaris semenit Meisya membiarkan Arif memeluknya, Meisya hanya mengucapkan kata maaf dan pergi begitu saja.

Arif mengusap wajahnya yang kusut. Dia tak tahu apa yang di dalam kepala Meisya, dia tak mengerti bagaimana cara perempuan itu berpikir, namun sekarang, "Ta, Lo di mana? ... Oh, kita ketemu sekarang bisa? Ada yang pengin gue omongin. Penting."

Arif mendatangi tempat kerja Tari, dia duduk di coffe shop yang terletak di lantai dasar tower tempat Tari bekerja.

"Ma--wait, jadi, gak, maksud gue, ya ampun gue ga bisa berkata-kata."

Tari tergagap dia nampak tercengang. "Sejak kapan?"

Arif mengedik, "entah, mungkin saat gue berpikir Lo masih satu-satunya atau semenjak dia bilang kalau dia suka sama gue."

Masih dalam mode merenung, Tari bisa memakluminya. "Gue rasa setelah kedatangan Tante, Rif. Lo pasti ga sadar ini, tapi dulu gue sempat bertanya-tanya."

Atensi Arif kini lebih terpusat pada kalimat sahabatnya, "Lo mungkin ga sadar, tiap kali kita ngobrol Lo sering menyelipkan untuk membahas Tante. Entah Lo suprising sama kelakuan dia atau apalah, dan gue juga sadar kalau sikap Lo ke gue ga seintens dulu semenjak ada Tante."

Menghela napas panjang kemudian menarik kembali napas mengisi rongga paru-paru. Aroma kopi dan roti kembali tercium. "Masalahnya bukan sejak kapan, Ta."

Kedua tangan Tari terlipat, kakinya yang jenjang pun berpangku pada kakinya yang lain. "Terus, masalahnya apa? Lo tiba-tiba ngaku begini, udah cukup buat gue hampir jantungan."

"Dia seolah-olah menghindar, gue bingung."

"Penyakit anak transisi kali, Rif. Tante udah masuk 21 kan? Masih rada labil. Tarik-ulur, gitu kan wajar."

Arif menggeleng, "bukan itu, gue pikir ini ada kaitannya soal mental dia."

"Maksud Lo?"

"Gue dulu maklum dia ga bisa suka sama pak Randy, tapi sekarang dia bilang kalau meskipun dia suka sama gue dia ga mau membangun sebuah hubungan."

"Lo overthinking kali, Rif. Dia mungkin mikirnya buat apa menjalin hubungan kalau dia ga yakin bisa berhasil? Sama seperti yang pernah dia bilang dulu, atau dia masih berpikir kalau Lo belum move on dari gue."

Arif menjentikkan jarinya, "itu yang gue maksud."

"Hah?" Tari bingung, yang mana maksud Arif.

"Keraguan, soal dia tidak yakin bisa berhasil. Ingat, orangtuanya bercerai. Bisa jadi dia mengalami issue kepercayaan dari rasa cinta itu sendiri. Lo ataupun gue tahu, cinta ga bisa selamanya menggebu-gebu, ada masa dia akan naik turun atau bahkan menghilang."

Kelopak mata Tari mengerjap, jemarinya yang lentik memegang bibirnya yang sedikit terbuka. "So, kesimpulannya Lo mikir dia mungkin takut kalau Lo sama dia bisa jadi berakhir seperti orangtuanya yang berpisah?"

Arif mengangguk, "exactly, itu moment menyakitkan bagi Meisya, Ta. Dan gue yakin dia ataupun orang lain juga tidak mau merasakan sakit yang sama."

"Jadi gimana langkah Lo selanjutnya?"

Arif menatap Tari lurus, "Lo restuin gue, enggak?"

"Ga usah ditanya, i know you so well." Tari menjawab dengan nada meyakinkan.

The Scenario (Different Grooves)✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang