Duhh Sial Banget Gue!

112 12 0
                                    

Hari kedua sekolah.

"Woi, Prily!" Alva yang baru saja keluar dari ruang guru melambaikan tangannya pada Prily yang kebetulan saat itu sedang lewat di depan ruang guru.

Tadinya Prily mau pura-pura gak dengar plus gak lihat. Ia masih malu gara-gara insiden nilai ulangan matematika kemarin tapi karena Alva terus memanggilnya ia terpaksa menghampiri Alva.

"Apa?" tanya-nya begitu ia sudah di depan Alva. Prily sengaja bersikap sesantai mungkin biar gak ketahuan kalo dia lagi malu.

"Bantuin gue bawa buku paket Bahasa Indonesia," kata Alva.

Tanpa mendengarkan jawaban Prily terlebih dahulu ia sudah ngeloyor kembali memasuki ruang guru.

Prily hanya pasrah. Ia berjalan mengikuti Alva memasuki ruang guru. Alva memang bertanggung jawab untuk urusan seperti ini karena dia memang sudah didaulat menjadi ketua kelas IX-A. Tapi kan Prily bukan siapa-siapa.

Prily bukan wakil ketua kelas, sekretaris ataupun pemegang jabatan tertentu di kelas. Ia hanyalah murid biasa.

Tapi kenapa malah dirinya yang diminta tolong? Apa karena dia kebetulan melewati ruang guru?

Sebenarnya kalau mengingat sikap Alva yang kasar kemarin padanya dan kalo ingat gimana dia menjelekkan nilai ulangannya, Prily ogah membantu Alva. Tapi karena ini demi kepentingan kelasnya, mau gak mau Prily harus rela hati membantu Alva.

"Lo bawa buku-buku ini ke kelas. Suruh anak-anak mengerjakan soal latihan di halaman 15. Bu Ratna gak masuk. Katanya sih lagi ada urusan di Jakarta," kata Alva sambil menunjuk tumpukan buku paket Bahasa Indonesia yang ada di atas meja.

Mulut Prily terbuka lebar. Ia menatap Alva dengan tatapan gak percaya. "Sebanyak ini???"

"Iya. Lo tahu kan jumlah murid di kelas kita banyak. Tiap orang dapat satu buku"

Prily cemberut. "Terus elo sendiri bawa apaan?"

"Gue harus menghadap Pak Adrian. Beliau nyuruh gue ngambil sesuatu yang penting. Kenapa? Lo gak mau bantuin gue bawa ini ya?" Alva menatap Prily dengan penuh selidik.

"Gak gitu. Gue cuman nanya aja," sahut Prily sambil menggelengkan kepalanya. Okelah, dia bisa menerima alasan Alva.

Sesuatu yang penting? Mungkinkah itu adalah dispenser? Seingatnya Pak Adrian, wali kelasnya itu, pernah mengatakan akan membeli sebuah dispenser untuk kelas mereka.

Kalau memang benar dispenser, pasti Alva akan sangat repot membawanya. Gak apalah ia membantunya membawa buku-buku ini.

Dengan meyakini hal itu tanpa banyak tanya lagi Prily segera mengangkat semua buku paket di atas meja. Ia agak terhuyung begitu semua buku paket itu berada dalam pelukannya.

Beratnya AMPUN deh. Buku paketnya sih gak terlalu tebal tapi karena jumlahnya banyak jadi rasanya seperti mengangkat empat rim kertas.

"Gue duluan ya..." kata Prily sambil mulai beranjak keluar dari ruang guru.

Dan ternyata membawa buku paket sebanyak itu memerlukan banyak perjuangan.

Tadinya dipikirnya rintangan satu-satunya cuma buku-bukunya yang berat tapi saat ia berdiri di depan tangga yang akan membawanya ke lantai 3, tempatnya ruangan kelas IX berada, ia sadar pikirannya itu salah.

Prily memandang anak-anak tangga di depannya dengan pandangan hopeless.

Astaga, bagaimana ia bisa menaiki tangga dengan buku-buku seberat ini?? ARRRGGHHH... Prily jadi frustasi sendiri.

Baiklah, karena ia harus menyerahkan buku-buku ini pada teman-teman sekelasnya, ia harus berjuang.

Prily pun lantas menguatkan hatinya. Ia harus bisa menaiki tangga dengan membawa buku-buku ini walaupun ini artinya ia harus menaiki tangga dengan ekstra pelan dan hati-hati.

Prily mendaki anak tangga setingkat demi tingkat sambil memeluk buku-buku dalam pelukannya dengan erat.

Ia gak mau buku-buku itu jatuh. Pasti akan sangat repot kalau buku-buku itu sampai terjatuh.

Seandainya hal itu terjadi pasti Prily akan kerepotan memungutinya yang kemungkinan akan jatuh kembali ke anak tangga pertama.

Makanya setiap kali ia berhasil mendaki tingkatan anak tangga ia menghela nafas lega. Lega karena buku-buku ditangannya masih selamat sentosa.

Dan gak terasa ia sudah hampir mencapai puncak tangga. Matanya juga sudah berhasil menangkap koridor lantai kelas IX.

Artinya perjuangannya mendaki tangga sebentar lagi akan selesai. Membayangkan semua bebannya ini akan hilang Prily jadi tersenyum senang.

"Ngapain lo senyumin tangga? Kayak orang bodoh aja..." seru seseorang dari arah belakangnya.

Prily yang terlalu berkonsentrasi pada tangga gak menyadari ada orang di belakangnya sehingga ia super duper kaget mendengar suara orang itu.

Brukkkkk.....

Semua buku yang tadinya aman dalam pelukannya sekarang sukses berjatuhan karena efek kagetnya tadi.

Bersambung...

You And First LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang