Uneasy feeling

61 3 0
                                    

Prily memandang Alva. Nggak tahu harus mengatakan apa. Sementara itu Alva juga terus memandangnya, menuntut jawaban.

Prily berpikir dengan cepat. Sebenarnya ini kesempatannya untuk menjelaskan pada Alva. Menjelaskan bahwa ia nggak mangkir dari tugas, menjelaskan pembullyan yang dialaminya.

Prily sudah membuka mulutnya tapi entah kenapa lidahnya terasa kelu. Alih-alih mengatakan apa yang ingin dikatakannya ia malah menutup mulutnya kembali, terdiam dan hanya memandang Alva.

"Prily?" Alva mengulurkan tangannya, bermaksud untuk menyentuh bahu Prily. Ia ingin menenangkan Prily karena sepertinya Prily baru saja mengalami kejadian yang menakutkan.

"Prily!" Seseorang juga memanggil cewek itu. Alva menoleh dan melihat seorang cowok berlari ke arah mereka.

Cowok yang tidak mengenakan seragam sekolah itu langsung memegangi kedua bahu Prily. "Elo kenapa, Pril? Kok keadaan lo seperti ini?" ada nada cemas dalam suaranya.

"Kak Reddy!" seru Prily kaget sekaligus bingung melihat Reddy berada di depannya.

"Gak apa-apa, Kak... Tadi gue... jatuh...." Prily berbohong agar Reddy gak tahu masalah yang sebenarnya. Bisa gawat kalo Reddy tau ia dikeroyok. Bisa panjang urusannya.

Prily memaksakan sebuah senyuman di wajahnya lalu melepaskan kedua tangan Reddy dari bahunya. "Gak usah khawatir..."

Reddy menggelengkan kepala, "Gak usah khawatir gimana? Lihat keadaan lo, Pril. Masa' jatuh sampai segininya? Pokoknya kita ke Dokter, ya? Gue takut terjadi sesuatu sama lo."

Prily kembali memaksakan sebuah senyuman di wajahnya. "Gue gak apa-apa kok, Kak. Gak perlu ke Dokter..." Prily berusaha menenangkan Reddy. Namun karena ia melihat Reddy masih saja mengkhawatirkannya. Ia pun menyerah dan lantas menganggukkan kepalanya. "Iya deh Kak, kita ke dokter."

Reddy menghela napas lega. Ia langsung menggandeng Prily karena ia gak yakin Prily bisa berjalan sendiri melihat keadaannya yang sangat lemah.

Namun, Prily gak langsung melangkahkan kakinya. Prily terlebih dahulu memandang ke sebuah arah. Saat Prily memandang cowok itulah Reddy baru sadar ada orang lain di sana. Tadinya Reddy gak menyadarinya karena terlalu mengkhawatirkan pada Prily.

"Alva, gue izin ke dokter dulu, ya? Maaf kalo gue gak bisa ngelanjutin tugas biologi kita," kata Prily.

Alva memandang Prily dan Reddy secara bergantian. Ia gak tahu apa yang terjadi pada Prily. Namun melihat keadaan Prily sekarang ini pastilah Prily mengalami sesuatu yang buruk. Gak mungkin hanya terjatuh seperti alasannya tadi. Berdasarkan kesimpulannya itu Alva menganggukkan kepalanya. "Oke."

Prily dan Reddy pun berlalu dari sana. Alva mengamati mereka berdua sampai akhirnya mereka menghilang. Hanya dengan sekali melihat saja Alva bisa mengetahui kalau cowok itu sangat perhatian pada Prily. Hal itu sangat terlihat dari caranya membantu Prily berjalan dan dari ekspresi wajahnya yang terlihat sangat khawatir.

Orang itu pasti sangat dekat dengan Prily, pikir Alva. Jangan-jangan kakaknya ya? Ahh gak mungkin. Prily kan anak tunggal.

Alva menghela napas. Sudahlah. Untuk apa ia peduli? Bukankah yang harus dipedulikannya sekarang adalah tugas biologinya? Ya, sekarang ia harus mengerjakan tugas itu sendirian. Ia juga harus memberikan alasan yang jelas pada guru biologinya tentang keadaan Prily agar guru mereka itu gak mengira Prily bolos.

Alva lantas kembali ke lab biologi. Sementara itu, Reddy yang sedang mengamati pergelangan tangan Prily mengerutkan keningnya karena bingung.

"Bekas ini karena terjatuh tadi. Gak sengaja terbentur..." kata Prily berusaha menjelaskan bekas merah pada pergelangan tangannya. Kalimat itu sudah hampir sepuluh kali Reddy dengar sejak mereka memasuki mobilnya. Namun sampai sekarang Reddy masih juga belum mempercayainya.

"Pril, jawab jujur. Lo tadi berantem kan?" tanya Reddy, pertanyaannya ini juga hampir sepuluh kali ditanyakannya pada Prily.

Prily menggelengkan kepalanya dan kembali memberikan jawaban yang sama. "Enggak kok. Ngapain gue berantem? Lo kan tau sendiri gue gak punya musuh, Kak."

Reddy memandang Prily. Prily menghindari pandangannya. Hal ini semakin membuat Reddy yakin kalau Prily sedang berbohong. Reddy gak mengerti kenapa Prily harus berkata bohong padanya. Harusnya kan Prily mengatakan padanya kalau ia memang berantem agar Reddy bisa membelanya. Kediaman Prily yang seperti ini membuat Reddy gak tahu harus melakukan apa.

"Terserah lo mau bilang apa..." Reddy akhirnya menyerah untuk mengulik-ngulik kejadian yang sebenarnya. 

Reddy melepaskan tangan Prily dan bersandar ke kursi mobil. "Yang penting kita periksa ke dokter. Gue gak mau terjadi sesuatu sama lo..."

Prily tersenyum. Ia merasa lega. Ia ikut menyandarkan kepalanya ke sandaran kursi. Saat menyadari Reddy -yang terus memandang ke luar jendela tanpa bicara- sepertinya sedang ngambek, Prily pun langsung menggelitiki pinggangnya untuk membuatnya berhenti ngambek.

"Hahahaha.... Pril, udah dong, Pril.... Geli, Hahahaha...."

"Makanya jangan ngambek!"

"Siapa juga yang ngambek, hahaha... sudah... hahaha... geli.... hahahaha.... Prily!!"

Prily menghentikan aksinya. Ia nyengir lebar melihat Reddy misuh-misuh sambil berusaha menjauh darinya.

Tiba-tiba Prily ingat belum menanyakan alasan Reddy datang ke SMP Narendra. Ia pun langsung menyikut lengan Reddy, "Lo ngapain ke sekolah gue?"

"Sekolah lo? Hei Nona, itu juga sekolah gue, gue kan lulusan sana!" Reddy memprotes.

Prily mendengus. "Iya, iya, gue tau. Gak usah dibahas deh. Jawab aja!"

"Ada beberapa berkas yang harus pakai legalisir sekolah. Makanya gue ke sana," jawab Reddy sambil menunjukkan fotocopy ijazahnya yang baru dileges.

"Ohh... gue kira elo nyari gue..." kata Prily polos.

Reddy tertawa sinis. "Nyari lo?? Ngapain!! Mending gue nyari artis, ada untungnya dapat tanda tangan. Nah kalo nyari lo, yang ada duit gue bakalan lo bajak!"

"Asem lo Kak!" Prily jengkel sendiri mendengar ucapan Reddy.

Reddy kembali tertawa. Kali ini ia tertawa karena senang. Mengerjai Prily memang salah satu hobinya.

Namun sesaat kemudian tawanya terhenti. Ia teringat kejadian tadi.

Alva dan Prily. Reddy gak tahu kalau Prily berteman dengan Alva. Prily gak pernah menceritakan pertemanannya dengan Alva padanya.

Harusnya sih gak apa-apa. Toh selama ini Prily juga gak pernah bercerita siapa aja temannya. Kalaupun Reddy tau siapa teman-teman Prily, cewek ataupun cowok, selama ini Reddy gak pernah peduli sejauh teman Prily itu gak memberikan dampak buruk pada cewek itu.

Lagipula, Reddy gak pernah merasa khawatir seseorang merebut Prily darinya. Reddy dan Prily bersahabat sejak kecil karena itulah posisinya gak pernah tergantikan. Talitha dan Kinal saja gak bisa menggeser posisinya sebagai orang terdekat Prily.

Tapi... entah kenapa kali ini Reddy merasa terusik dengan kehadiran Alva. Reddy teringat kembali cara Prily memandang Alva. Ia gak suka cara Prily memandang Alva seperti tadi.

Bersambung...

Hai, selamat siang. Maaf ya kalo updatenya lagi-lagi telat. Dan terima kasih udah mampir ke cerita ini. Votenya suka rela kalian aja. Sampai ketemu di bab selanjutnya ^_^


You And First LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang