Sore itu, bunyi benturan bola basket dengan lapangan basket yang lantainya terbuat dari semen terdengar mendominasi di lapangan basket komplek perumahan ARINA WENGGA yang merupakan komplek perumahannya Prily dan Reddy.
Cuaca sore yang teduh membuat Reddy puas memainkan bola basketnya tanpa harus takut kulitnya terbakar matahari.
Di pinggir lapangan, tampak Prily sedang duduk di sebuah kursi panjang, menonton Reddy bermain basket.
"Gimana sekolah lo? Lancar?" tanya Reddy yang mendrible bola menuju ring.
Ia berusaha melakukan gerakan Slum namun gagal, bolanya tidak masuk, hanya membentur papan ring.
Prily mendesah, pandangannya tertuju pada Reddy yang sedang mengejar bola basket yang sekarang sedang menggelinding di lapangan pasca meleset dari ring basket.
"Lancar apanya? Ini mimpi buruk Kak"
"Mimpi buruk?" Reddy yang sudah kembali mendapatkan bola basketnya langsung berpaling memandang Prily. "Maksud lo?"
Karena Prily gak langsung menjawab pertanyaannya, Reddy berinisiatif menghampiri Prily dan duduk di sampingnya. Ia kembali memandang Prily.
"Ceritakan," pinta Reddy. "Memendam masalah sendiri itu gak baik loh."
"Ini bukan masalah. Mmm, mungkin ini lebih tepat disebut sebagai kesialan"
"Huh? Kesialan??"
Prily tersenyum, ia merebut bola basket dari tangan Reddy lalu bangkit dari kursinya.
Sambil berlari ia mendribel bola menuju ring basket. Saat sudah berada di dalam lingkaran tiga angka ia melompat sambil melakukan shot.
Dan 'ploong' bisa ditebak bola basket yang dilemparkannya gak berhasil memasuki ring basket.
"Ternyata gue emang gak tercipta untuk menjadi pemain basket, hahaha...." Prily menertawakan ketidakbisaannya bermain basket.
Reddy tersenyum, ia juga bangkit dari kursinya dan kemudian menghampiri Prily.
"Lo udah melihat gue bermain basket sejak kecil. Gue heran, kenapa sampai sekarang lo gak bisa juga bermain basket. Lo nya yang kelewat gak bisa atau gue nya yang gak bagus?"
Prily hanya angkat bahu, "Mungkin karena basket bukan jiwa gue, jiwa gue kan fotografi. Semua objek yang gue potret pasti akan terlihat bagus" kata Prily setengah menyombongkan diri.
Reddy kembali tersenyum. Ia lalu menepuk bahu Prily.
"Gue akuin lo hebat dalam fotografi. Tapi, kalo lo mau belajar main basket gue bersedia ngajarin lo."
Prily juga tersenyum mendengar penawaran yang Reddy tawarkan tapi untuk sekarang ia gak dalam mood untuk mempelajari sesuatu.
Jangankan bermain basket, menyentuh kamera kesayangannya saja ia sedang gak mood.
Dan alasannya bad mood adalah Alva. Prily baru beberapa hari ini menjadi teman sebangkunya tapi kehidupannya sukses berubah drastis sejak ia menjadi teman sebangku dengan Alva.
Kesialan seperti datang bertubi-tubi saat Alva ada di dekatnya.
"Ngomong-ngomong... " Prily memandang Reddy yang kembali melemparkan bola basket ke dalam ring basket dan kali ini ia berhasil memasukkannya.
"Lo pernah dengar nama Alva gak, Kak?"
Alasan Prily bertanya pada Reddy yang merupakan Alumni SMP Narendra adalah karena ia berharap Reddy tahu kelemahan Alva. Sebagai Seniornya, mungkin aja Reddy tahu.
"Alva?" Reddy mengulang nama yang Prily tanyakan padanya sambil menyambut bola basket yang gugur dari ring.
Setelah mendapatkannya, ia menoleh pada Prily.
"Ya iyalah gue pernah dengar. Dia kan cowok yang nyaris sempurna di SMP Narendra. Banyak cewek yang ngejar-ngejar dia padahal setahu gue dia orangnya sama sekali gak ramah"
Nyaris sempurna? Bukan ini yang ingin didengarnya. Yang ingin didengarnya adalah kelemahan Alva.
Reddy memandang Prily dengan penasaran.
"Kenapa? Kok tiba-tiba lo nanyain soal Alva? Tunggu, jangan bilang lo juga naksir dia?"
Prily langsung ngakak mendengar tebakan Reddy.
"Gak salah nih? Masa' gue naksir dia? Elo kan tahu sendiri gue gak suka tipe cowok dingin macam dia. Ngawur deh..."
"Kali ajaaaaa," kata Reddy. Ia tersenyum kecil sambil kembali melemparkan bola ke dalam ring.
Mendengar jawaban Prily tadi ia merasa lega. Tadinya ia sempat khawatir karena gak biasanya Prily nanya-nanya soal cowok ke dia.
"Enggak lah, Kak. Gue masih normal dan catat ya, gue gak suka cowok dingin kayak dia, udah dingin sadis pula. Diiih..." Prily berlagak seperti jijik agar Reddy gak lagi berpikir dia naksir pada Alva.
Enak aja. Jangankan naksir. Yang ada dia malah sebal pada Alva.
Tiba-tiba Prily teringat sesuatu. Sesuatu yang selama ini membuatnya sangat penasaran."Kak, lo pernah lihat pacarnya Alva gak?"
Kening Reddy kembali berkerut, "Pacarnya Alva? Emang ada ya? Setahu gue sih gak ada."
Reddy malah balik nanya. Jelas banget Reddy gak tahu soal identitas pacarnya Alva.
"Kali aja ada..." jawab Prily lesu.
Sementara Prily sibuk memikirkan jati diri pacarnya Alva, Reddy terus memandangnya dengan curiga. Cowok itu larut dengan pertanyaan-pertanyaan dalam benaknya sendiri.
"Oh iya, jangan lupa datang ke pertandingan gue hari minggu ini ya" kata Reddy sejurus kemudian.
Prily menganggukkan kepalanya dengan antusias, "Sip Bos"
Prily nyengir. Baiklah, mari melupakan urusan Alva dan menikmati permainan basket Reddy, kata Prily dalam hati, memberitahu dirinya sendiri.
Bersambung...
KAMU SEDANG MEMBACA
You And First Love
Fiksi RemajaWARNING!!! Ini adalah novel, bukan wattpad stories biasa. Silahkan keluar kalau kamu bukan pecinta novel ^^ Series Pertama dari antologi 'First Love'. Suara 'pluk' cokelat yang dilemparkan Alva Revaro ke tong sampah membuat semua orang yang ada di s...