23- Hampir Normal Kembali

166 9 1
                                    

Sudah seminggu sejak kejadian aku, Kak Daffa, dan Alvian mencari pengirim email itu. Tidak ada lagi pesan aneh masuk ke dalam akun ku. Entah bagaimana, dia hilang begitu saja. Mungkin dia tahu jika kami telah melacak tempatnya, lalu dia berhenti karena khawatir akan ketahuan.

Aku tidak peduli.

Yang terpenting sekarang aku telah terbebas dari ancamannya. Sayangnya, aku belum terlepas dari hukuman Bu Kartika tentang membatu kegiatan ekskul. Rencananya, hari ini aku akan membantu Rohis menyiapkan acara doa bersama untuk kelas dua belas yang sebentar lagi akan menjalani ujian nasional dan mini bazzar. Untungnya, Caca salah satu anggota ekskul ini. Jadi, aku setidaknya memiliki teman untuk berbicara.

Seperti yang kalian tau, aku tidak mudah untuk membuat teman baru.

"Nadila? Lo ngapain disini?"

"Loh? Alvian? Kok lo disini? Emang lo anak Rohis?" Masa sih, seorang Alvian Narel mengikuti ekstrakurikuler yang biasanya berisikan anak-anak baik. Maksudku, Alvian memang tidak seburuk itu. Tapi juga tidak sebaik itu.

"Iya lah, lo sendiri? Gak mungkin kan lo ikutan Rohis? Soalnya gua gak pernah liat anak Rohis tanpa kerudung, no offense loh ya hehehe"

Aku memutar mata, "emang gua bukan anak Rohis, tapi ini gara-gara Bu Kartika nih ngehukum gua. Jadinya disuruh bantuin kegiatan Rohis. Gila ya, seorang Alvian Rohis hahaha." Aku masih tidak percaya bahwa Alvian adalah anak Rohis. Ku kira, orang-orang semacam Alvian itu mengikuti ekstrakuriluler futsal atau ekstrakuriluler mainstream lainnya. Ternyata salah.

"Loh? Kok bisa dihukum? Bandel ye lu?" Tanya Alvian dengan raut curiga.

"Enak aja! Ini gara-gara ada yang fitnah gua tau! Udah ah mau ke Caca aja, sama lu gua stress." Aku segera pergi dari pandang Alvian sebelum dia menanyakan lagi lebih dalam. Aku terlalu malas untuk menjelaskan lebih panjang.

"Eh-eh iya maaf-maaf, jangan ngambek dong." Alvian menahan tanganku yang membuatku membelalak ke arahnya. Masa iya di masjid pegang-pengangan tangan sih, kan gak lucu.

Alvian langsung melepaskan tangannya dari tanganku sambil cengengesan. "Hehehe, maaf dong. Kan cuma bercanda tadi."

Aku menghela nafas, "iya-iya, udah ah gua mau ke Caca dulu."

Setelah Alvian mengangguk aku langsung berjalan mencari Caca, karena yang tau tugasku apa itu Caca. Dia yang ditugaskan Bu Kartika untuk mengawasiku.

Memangnya aku anjing galak apa harus diawasi? Yang ada Bu Kartika yang sebenarnya harus diawasi. Ah kan, sekarang aku jadi membuat dosa karena berfikiran jelek tentang orang lain. Aku tarik kata-kata jelekku barusan.

Aku terus melihat kesana-sini untuk mencari Caca yang sedari tadi belum juga aku temukan. Kemana sih dia?

Selama mungkin lima menit setelah aku mencari Caca ke seluruh masjid, akhirnya aku menemukan dia di pojok masjid sedang menata meja untuk bazzar. "Caca! Gila gua nyariin lo kesana-sini juga."

"Eh? Sorry-sorry, lagian tadi gua liat lo lagi ngobrol asik banget sih. Jadi gua tinggal aja." Ucapnya yang masih sibuk mengerjakan ini-itu.

"Trus ini gua ngapain dong Ca? Kan tugas gua ada di lo."

Caca melirik kursi yang tertumpuk rapih, "itu Nad, lo taro kursi itu dimasing-masing meja ini aja. Gua tinggal bentar ya, mau ngurusin yang lain. Pas gua balik, udah beres ya."

Aku berjalan ke arah tumpukan kursi mengambil beberapa buah untuk kemudian ditaruh di tempat yang Caca beri tau. Setelah semua selesai, aku memutuskan untuk duduk sebentar.

Nadila Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang