Keesokan hari, aku bercerita kepada Kak Daffa dan Alvian. Mereka berdua kurang setuju dengan gagasan bahwa salah satu diantara Sabita, Alysa, Caca pelakunya. Aku sendiri tidak tau dengan pasti pelakunya. Lebih baik aku berburuk sangka dengan orang lain dibandingkan harus berburuk sangka dengan mereka.
Istirahat hari ini, aku sengaja duduk terpisah dari mereka bertiga dan memilih bergabung dengan Alvian dan Kak Daffa. Itupun perintah langsung dari Alvian yang tak terbantahkan.
"Kak, kok lo gak pernah bilang sih kalo Sarah adek lo?" Tanyaku kepada Kak Daffa yang sedang menyuap sepotong bakso ke dalam mulutnya.
"Kamu gak pernah nanya," Alvian menahan tawa saat mendengar jawaban dari Kak Daffa.
"Au ah gelap."
"Mana gelap? Orang masih jam sepuluh pagi." Lagi-lagi jawaban yang menyebalkan keluar dari bibir Kak Daffa. Tumben loh dia senyebelin ini, biasanya yang kayak eek sapi kan Alvian.
"Ihh gatau ah, gua balik aja ke temen-temen gua." Saat aku hendak berjalan menuju meja temanku yang lain Alvian dengan cepat menahan lenganku agar tidak pergi.
"Jangan baper dong cantik, kan belum selesai ngomongnya." Aku kembali duduk di tempat semula seraya menahan senyuman karena Alvian yang baru saja menggombali ku. Terkadang, aku mempan menahan gombalannya. Tapi, tidak jarang juga aku tersipu malu. Sial, kenapa mereka menjadi bertukar kepribadian sih?
"Kesempatan dalam kesempitan." Gumam Kak Daffa yang masih bisa terdengar kecil.
"Oke, gimana kalo kita nunggu sampe dia ngejawab email lo?" Tanya Alvian.
"Nah, masalahnya dia gak jawab-jawab. Kalo menurut gua sih mending lupain ajalah siapa yang nulis," Jawabku dengan enteng.
Alvian dengan cepat langsung membantah, "Engga! Enak aja lupa-lupain."
"Gua sih setuju aja sama gagasan lupain, lagian udah gak muncul lagi kan?" Kata Kak Daffa yang sependapat denganku.
"Elah, masa lo pada mau nyerah gitu aja? Iya sekarang udah gak muncul, kalo nanti muncul lagi? Gimana?" Aku dan Kak Daffa saling bertatap dalam diam ketika Alvian mengajukan pertanyaan menjebak itu. Aku sendiri tidak tau harus bagaimana selanjutnya dan sepertinya Kak Daffa juga sudah tidak tau harus apa.
***
Sore sepulang sekolah, aku pergi menuju tempat bimbingan belajar. Karena kebetulan kemarin mama baru saja mendaftari ku untuk mengikuti ini. Jadi, disinilah aku. Duduk sendirian menunggu hingga pukul empat segera berdentang. Masih sekitar 25 menit lagi hal itu terjadi, sialnya baterai handphone ku sekarang hanya bersisa 20%.
Aku tidak mau kehabisan baterai untuk saat ini, oleh karena itu aku memilih untuk mengambil buku novel yang ada di dalam tasku dan berniat untuk melanjutkan bacaanku. Tanpa sengaja, aku melihat kertas jatuh ketika aku menarik novel itu dari dalam tas. Di depan kertas itu terdapat tulisan yang menyatakan itu untukku.
Hai lagi Nadila, gimana? Kangen sama gua gak? Kayaknya, sekarang kita lewat surat aja ya berkomunikasinya ha ha.
-16
Dugaanku bahwa teror itu sudah berhenti sepertinya salah besar, karena baru saja aku mendapatkan surat ini yang berarti penerornya akan semakin mendekat. Muncul sedikit rasa cemas dalam hatiku. Entah kenapa, aku merasa penulis itu tidak bisa lagi didiamkan. Dan aku semakin tidak bisa mempercayai orang lain untuk yang kali ini.
Tapi, tidak mungkin juga aku tidak bercerita kepada siapa-siapa. Lagipula, apasih gunanya dia memberikanku kata-kata tak berguna seperti ini? Ingin mencari perhatian? Atau hanya ingin menganggu ku? Kenapa juga ia senang menganggu ku? Kurang lebih pertanyaan itu lah yang muncul dibenak ku setelah selesai membaca surat itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nadila
Teen FictionBagaikan ombak yang menyapu habis daratan, kehidupan Nadila yang awalnya berjalan seperti sewajarnya berubah setelah ia dekat dengannya. Lelaki usil yang banyak diidolakan oleh kaum hawa penghuni sekolah, dan kakak kelas tampan yang memiliki sejuta...