16- Karena Daffa

186 16 5
                                    

"Ini kita mau kemana kak?" Tanyaku beberapa menit setelah kami berada di mobil.

"Rahasia dong,"

Aku memutar mata, "yaelah kak pake rahasia-rahasia segala."

Kak Daffa terkekeh tanpa membalas ucapan ku. Beberapa menit kemudian kami sampai di restaurant di daerah Jakarta Utara, restaurant itu bernuansa kapal laut. Sangat jelas dari nama restaurant ini jika mereka mengambil tema kapal. Jet ski Cafe, begitulah tulisan yang terdapat diatas menu yang diberikan oleh pelayan.

Tempat ini sangat romantis, cocok untuk para lovebirds. Kak Daffa memang selalu tau tempat-tempat romantis seperti ini. Aku bingung, padahal dia menjelaskan bahwa dia sangat jarang bersikap seperti ini kepada perempuan. Atau dia berbohong?

"Kak, gua bingung deh.." Kak Daffa langsung menatapku dengan tatapan tanda tanya.

"Kok lo bisa tau tempat-tempat kayak gini? Maksud gua, kan lo katanya jarang kayak gini sama cewe, tapi kok..." Aku sangat berhati-hati dalam pemilihan kata yang akan diucapkan kepadanya. Takut menyinggung perasaannya. Mungkin saja bukan jika ternyata dia punya pengalaman buruk tentang perempuan?

Kak Daffa terdiam tidak membalas pertanyaanku, sekitar lima menit kami saling diam berkutat dengan pikiran masing-masing. Well, sejujurnya aku tidak memikirkan hal yang berat. Hanya memikirkan apa aku memiliki tugas yang belum selesai untuk sekolah besok, aku selalu seperti ini jika pergi ketika hari minggu.

"Emm.. kak? Kok diem? Kalo gak mau ngasih tau gapapa kali hehehe," ucapku sambil menambah kesan humor didalamnya.

"Eh? Ng-ngga, hm.. jadi aku dulu pernah pacaran," dia menarik nafas kemudian menatap mataku.

"Dan.. kita putus. Karena dia pindah ke luar negeri. Jujur, i was totally fine buat ldr-an sama dia. Tapi dia gamau Nad. Jadi, akhirnya kita putus. Jujur.. aku belum bisa move on dari dia,"

Aku menahan nafas, sedikit sesak mendengan Kak Daffa yang masih belum bisa move on dari mantan pacarnya. Bayangkan saja, orang yang memperlakukan ku seperti yang Kak Daffa lakukan ternyata belum bisa move on.

Apa artinya dia tidak benar-benar serius dengan ucapannya waktu itu? Aku sedikit kecewa mengetahuinya.

"Tapi, semenjak aku ketemu kamu aku ngerasa perlahan bisa ngelupain dia sih kayaknya."

Aku diam.

Dia diam.

Dia memainkan jarinya seperti orang gugup, "kenapa kak? Kok diem lagi?"

Kak Daffa berdeham lalu melanjutkan ucapannya, "Nad," dia mengenggam tangan ku, "aku tau, kamu bukan yang pertama tapi.. aku nyaman deket sama kamu. Ak-aku.. ehm.. maksudnya ka-kamu.." dia menjauhkan tangannya dari tanganku kemudian mengacak-acak rambutnya.

"Yaampun! Gua kenapa sih?! Fokus Ga fokus. Gila, kenapa sih Nadila jadi cantik banget kalo serius?!" Aku menatapnya dengan tatapan geli ketika Kak Daffa gusar seperti itu dan tersenyum kecil.

"Lanjutin kak.." aku menatapnya dengan tatapan menggoda. Senang bisa membuatnya embarrassed seperti ini.

"Tarik nafas.. buang.. oke, lanjut."

"Jadi.. ekhem, kamu mau gak jadi pacar aku? Ck, aneh banget sih gua. Maaf ya Nad gak bisa romantis," ucapnya malu-malu.

Aku hanya tersenyum. Aku sudah menebak ini akan terjadi, cepat atau lambat.

***

"WOY GUA HARUS APA?!?" Teriakku yang sedang group call dengan Alysa, Sabita, Caca.

"Gua bingung sama lo Nad," Sabita langsung angkat bicara.

"Hah? Kok sama gua bingungnya?!" Seruku. Aku sendiri bingung aku berbicara apa saja kepada mereka. Yang jelas aku sudah menceritakan semua kejadian hari ini.

"Gini deh, lo bilang kalo lo suka cara dia nge-treat lo kan? Yaudah kenapa gak lo terima aja? Lo menang banyak Nad. Dia ganteng iya, tajir iya, famous iya, direbutin cewe iya, lucu iya, masuk ke tipe lo iya. Trus apa yang kurang coba? Apa yang buat lo malah gantungin dia?"

Aku terdiam mendengar perkataan Sabita barusan. Kak Daffa memang tidak ada kurangnya. Tapi, aku tidak tau kenapa rasanya ada yang janggal. Tidak, ini bukan karena sikap Alvian kemarin. Ini juga bukan karena aku tidak menyukai Kak Daffa. Aku jelas menyukai Kak Daffa, pesonanya terlalu kuat untuk tidak menyukainya.

Dia tau cara bersikap dihadapanku, dan aku menyukai itu. Tapi, aku merasa ada yang aneh. Biasanya firasat ku selalu benar. Aku selalu memakai firasat ku diberbagai jenis kejadian yang aku alami dan itu selalu benar. Sayangnya, aku bukan Tuhan dan aku masih bisa berbuat salah. Aku berfikir ulang lalu menyimpulkan.

Baiklah, sudah ku tentukan jawabannya.

"Bener Nad kata Sabita, dia terlalu baik buat ditolak. Tapi.. gatau sih semua terserah lo," Timpal Alysa.

Aku masih diam,

"Gua tau sih kenapa lo bingung Nad, ini pasti gara-gara Joko kan? Pasti ada yang lo gak ceritain ke kita. Ya kan?" Ucapan Caca barusan membuatku gelagapan. Bagaimana dia bisa tau tentang Alvian?

"Maksud lo Ca?"

"Lo ngerti Nad apa yang gua maksud. Gua liat lo sama Alvian kemaren," aku membulatkan bola mata mendengarnya. Bagaimana aku bisa tidak sadar jika disana ada Caca?!

"Hmm.. jadi ada yang gak di ceritain nih? Oiya, gua aja gatau ayang Joko lo itu siapa. Ha ha," Sabita mengeluarkan nada sinisnya ketika berbicara. Alysa masih tetap diam. Karena dia yang paling tau tentang Alvian. Walaupun masalah jalan kemarin dia belum tau.

Aku menarik nafas dalam, "setiap orang butuh privasi. Gua tau lo semua itu temen gua, tapi gak semua harus gua ceritain. Kalo kalian gak bisa ngehargain privasi gua mending gua gausah cerita sama sekali. Nyesel gua cerita kayak gini, kalo ujung-ujungnya cuma bikin kita berantem. Sekarang terserah lo pada deh," Aku langsung menutup sambungan telepon dan menangis detik itu juga. Satu hal yang aku tidak sukai dari persahabatan, permusuhan antar sahabat.

Maksud aku menelfon mereka itu untuk bercerita apa yang ingin aku ceritakan, bukan untuk menceritakan semua urusan pribadiku. Mungkin mereka menganggapku salah karena menyembunyikan tentang Alvian. Tapi, aku tidak mau menceritakannya dan aku tidak bisa dipaksa harus bercerita ini itu.

Arti sahabat menurutku adalah orang terdekat yang selalu mendukungmu, memberikan saran terbaik, mendengarkan ceritamu, bukan memaksa sahabatnya untuk bercerita hal yang privasi seperti itu. Memang, tidak ada yang ku sembunyikan dari Alvian. Tapi.. aku hanya merasa itu tidak perlu diceritakan. Cukup aku, Alvian, dan Tuhan yang tau.

Aku memutuskan untuk tidur sambil tetap meringkuk di pojok kasur, dalam gelapnya malam.

***

Aku lagi kurang mood nulis nih lagi sibuk sama sekolah jadi maaf yaa kalo seminggu sekali doang postnya hehehe

Nadila Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang