Senin.
Hari yang mengartikan, aku harus kembali masuk ke sekolah yang penuh dengan kejadian. Dulu, ketika aku duduk dibangku menengah pertama tidak ada hari dengan banyak masalah. Paling-paling masalah nilaiku yang menurun. Tidak ada galau-galau yang berhubungan dengan laki-laki, bahkan aku tidak pernah mendapatkan masalah yang berarti dengan teman dekat.Tidak seperti sekarang.
Untuk pertama kalinya dalam sejarah kehidupanku, aku merasa benar-benar malas masuk sekolah karena ada satu orang menganggu ku. Tapi, walaupun bagaimana aku tetap akan sekolah. Orang tua ku melarang keras anaknya bermalas-malasan dalam menempuh pendidikan.
"Untuk seluruh siswa, seminggu lagi akan diadakan ujian akhir semester dua. Persiapkan mental dan pelajaran kalian, karena ujian ini akan menentukan naik atau tidaknya..."
"Pssst! Nadila!" Aku menengok ke arah seseorang yang berbisik-bisik memanggil namaku.
"Apa Sab?"
Sabita yang berada dibelakangku melanjutkan bisik-bisiknya kepadaku, "lo tumben banget telat."
Dengan sedikit membalikkan badan aku menjawab, "gua kesiangan." Bohong, sebenarnya aku memang sengaja berlama-lama tadi pagi. Entah, menurut ku sekolah bukanlah tempat favorit ku untuk saat ini.
Aku berbalik kembali menghadap ke depan dan tanpa disangka-sangka, Bu Jihan sudah berada di depan mejaku sambil melipat kedua tangannya di bawah dada dan menatap Sabita dengan tajam. "Apa yang kamu omongin sama Nadila, Sabita?"
Sabita terlihat panik ketika melihat Bu Jihan, yang tadinya sedang memberikan ceramah tentang ujian akhir justru berdiri di depan mejaku dan bertanya pertanyaan menjebak kepadanya.
"Eh.. anu bu,"
Tanpa berfikir lagi aku memotong ucapan Sabita. "Saya bu yang mengajak Sabita ngobrol, saya yang salah."
"Kamu?! Kamu yang gak ikut upacara hari ini kan?! Kamu yang telat masuk ke jam saya kan?! Kalo memang kamu tidak niat untuk sekolah, keluar dari kelas ini, sekarang." Suara Bu Jihan yang berteriak seperti ini mungkin akan terdengar sampai ke kelas-kelas samping. Sebelum teriakan kedua, aku bangkit dari tempat duduk dan berjalan lurus keluar kelas tanpa sekalipun menengok ke arah guru yang berada di depanku.
Sial.
Hari yang sial, dengan suasana hati yang sial pula. Aku sengaja berbohong kepada Bu Jihan tentang tadi, karena aku sendiri sudah muak mendengar ocehannya. Mungkin apabila suasana hatiku sedang bagus aku akan mengatakan, 'dia bermaksud baik, aku seharusnya mendengarkan perkataannya.' Sayangnya, Nadila yang itu sedang pergi menghilang. Mungkin akan kembali lagi sampai Nadila yang sekarang pergi.
Aku memilikirkan tempat yang tersunyi di sekolah ini, untuk dijadikan tempat berdiam diri. Memang, sekolahku akan sangat sunyi jika kegiatan belajar mengajar sedang berlangsung. Tapi, sebentar lagi bel istirahat berbunyi, dan lorong yang sedang aku injak saat ini akan ramai seperti pasar. Aku harus sesegera mungkin menghindari keramaian, sebelum mood buruk ku ini mencari mangsa untuk melampiaskan semua kekesalan yang dengan sulit sudah ku tahan.
Berhubung lab atau ruang komputer di sekolahku memiliki lebih dari lima ruangan, yang dipakai hanya untuk kelas duabelas ujian nasional. Ruangan itu akan sepi pengunjung untuk saat ini. Walaupun seperti itu, air conditioner yang ada tetap selalu hidup. Aku tau, tiga dari lima ruangan itu akan dikunci dan hanya dibuka pada saat-saat tertentu. Tapi, akan selalu disisakan dua ruangan yang tidak dikunci. Yang satu biasa dipakai untuk guru yang dulunya mengajar pelajaran komputer, dan yang satunya kosong.
Dengan cepat, aku berlari tanpa bersuara menuju ruangan itu. Memeriksa satu-satu ruangan terbuka manakah yang tidak berisikan manusia.
Aura dingin terasa tepat ketika aku membuka pintu ruang komputer itu. Karena tidak melihat siapa-siapa di dalamnya, aku memutuskan untuk masuk ke dalam ruangan tersebut. Tidak banyak suara yang terdengar, hanya ada desisan suara mesin komputer dan suara siswa-siswi yang terdengar samar.
Tidak ada yang ku kerjakan di dalam sini. Hanya menghidupkan komputer, lalu membuka paint untuk mencorat-coret bosan. Bel istirahat juga sudah berbunyi. Untung saja ruangan ini terletak di bagian ujung sekolah yang tidak dilewati banyak orang.
Aku mendengar suara orang berjalan, aku bisa merasakan ada yang mendekat.
"Alvian?"
Mendengar ada yang menyebut namanya, Alvian tampak terkejut hingga menyadari bahwa yang memanggilnya adalah aku—Nadila.
"Nadila? Lo ngapain disini? Gua nyariin ke kelas gaada, ke kantin gaada, di line gak bales, telpon juga gak ngangkat."
"Maaf, gua lagi gak mau pegang hp dulu untuk sementara. Gua juga gak mau ke kantin, takut ketemu orang yang gak mau gua temuin. Gua gak di kelas gara-gara tadi dikeluarin sama Bu Jihan."
Alvian berjalan mendekatiku. "Nad, lo jangan gini. Gua bakalan makin benci Sarah kalo liat lo gini," dia menatapku dengan dalam.
"Lo tinggal kasih tau ke gua enaknya diapain dia, bakar atau kukus. Pilih."
Aku memutarkan kedua bola mata, "di rebus aja."
"Udahlah yuk! Keluar, disini kelamaan lo bisa beku."
Aku tetap diam ditempat tanda menggubris ucapan Alvian sama sekali.
"Nadila Nicole Ramadila yang cantik, ayo kita keluar okeh!"
"Males, lo aja."
Alvian menarik kursi yang ada dimeja samping lalu duduk di samping ku dengan jarak yang sangat dekat. Sekali aku menengok ke arahnya, mungkin akan ada kejadian yang aneh-aneh. "Lo kalo gamau keluar gua cium nih. Satu, dua—"
Segera aku mendorong kepala Alvian lalu berlari keluar dari ruangan itu. "Nyebelin banget sih!"
Dengan memasang senyum kemenangannya, Alvian berjalan ke arahku sambil menaruh kedua tangannya disaku kanan dan kiri celananya. "Kalo gua gak gitu lo sampe sekarang gak bakal keluar dari sana. Lagian, kali aja gitu lo mau gua cium."
"Najis, cium sana tembok! Jilatin tuh sekalian!"
"Ih galak!"
"Bodo."
Aku berlari menjauh dari Alvian yang setengah gila.
Tanpa sengaja aku menabrak seorang perempuan, "maaf-maaf gak senga—"
Perempuan itu menghentikan perkataannya ketika menatap langsung ke wajahku. Dia adalah orang yang sedang ku hindari. Tak lain dan tak bukan, Sarah.
"Nadila, maaf. Gua bener-bener minta maaf udah nabrak lo," ucapannya terdengar sangat tulus. Sayang, aku sudah tahu tentangnya yang lihai dalam berpura-pura.
"Hm."
Aku berjalan tanpa sekalipun menatap ke arah wajahnya yang tampak seakan menyesal. Silahkan katakan aku tidak sopan karena tak menggubris perkataanya. Aku sendiri merasa itu bukan hal yang baik untuk dilakukan, tapi perilakunya lah yang membuat aku bersikap seperti ini kepadanya. Jika saja ia langsung meminta maaf pada saat aku pertama kali melihat ia menaruh ancaman itu, mungkin akan lain cerita.
Mungkin, hanya mungkin, aku akan memaafkannya dan menanyakan dengan baik-baik 'kenapa? Kenapa alasannya?'
KAMU SEDANG MEMBACA
Nadila
Teen FictionBagaikan ombak yang menyapu habis daratan, kehidupan Nadila yang awalnya berjalan seperti sewajarnya berubah setelah ia dekat dengannya. Lelaki usil yang banyak diidolakan oleh kaum hawa penghuni sekolah, dan kakak kelas tampan yang memiliki sejuta...