Prolog

6.9K 193 3
                                    

   

     Azahra atau biasa dipanggil Zahra hanya gadis desa yang sangat polos, hidup dan penampilannya sangat sederhana jauh dari kata mewah. Diusianya yang ke-19 tahun ini dia harus menerima perjodohan demi bisa melanjutkan sekolahnya ke universitas. Sejak ayahnya meninggal setahun yang lalu akibat serangan jantung Zahra harus memendam impiannya karena keterbatasan biaya Ibunya yang hanya seorang petani teh, demi mencukupi kebutuhan sehari-hari. Untuk itu Zahra harus menerima perjodohan yang telah direncanakan sejak lama oleh almarhum Ayahnya dan sahabatnya.

     ~Azahra POV~

     Aku menenteng tas besar berisi bajuku menuju pintu depan rumah yang ternyata sudah menunggu dua pria paruhbaya, yang satu mengenakan pakaian jas rapi yang satunya mengenakan seragam abu-abu. Bapak yang menggunakan pakaian seragam abu-abu tadi langsung membantuku membawakan koper yang begitu berat dan memasukkannya ke mobil mewah yang terparkir dijalan setapak tak jauh dari halaman rumahku. Sedangkan pria yang mengenakan jas rapi tadi  tengah berbincang dengan Ibuku, terlihat wajah teduh Ibu yang begitu sedih karena harus berpisah jauh denganku.

     Sebenarnya Aku tak tega meninggalkan ibu sendirian di rumah namun bagaimanapun Aku dan Ibu harus menunaikan amanah almarhum Ayah.

     Aku ingin Ibu ikut denganku tapi ia menolak karena tak  ingin meninggalkan rumah penuh kenangannya bersama Ayah. Sungguh Aku dalam kebimbangan, tapi Aku juga tak ingin mengecewakan Ibu maupun almarhum Ayah, untuk itu aku menerima perjodohan ini.

     "Kamu sudah siap Ra..?" tanya lelaki paruhbaya yang tadi mengobrol dengan Ibu, dia adalah Om Alvano sahabat almarhum Ayah sewaktu sekolah dulu.

     Aku hanya membalas dengan anggukkan saja lalu berlari memeluk Ibu penuh isak tangis, sambil memelukku Ibu berkata untuk selalu baik-baik menjaga sikap disana, dan menuruti apapun perintah Om Alvano.

     "Kamu nggak perlu khawatir Ros, anakmu pasti akan baik-baik saja. "

     "Titip anakku ya, Mas"

     Om Alvano tersenyum kecil sembari mengangguk.

     "Pergilah, Nak. Hati-hati dijalan." Ibu melepaskan pelukkan kami, pelukan untuk perpisahan. Aku benar-benar tak dapat membendung air mataku yang terus membanjiri pipi saat melihat wajah teduh Ibu.

     "Ibu jaga kesehatan ya" ucapku sebelum masuk ke mobil mewah milik Om Alvano. Aku terus melambaikan tanganku dari kaca jendela mobil begitupun juga Ibu yang terus menatap kepergianku  hingga bayangannya tak tampak lagi karena mobilnya melewati sebuah tikungan.

     Sedih, takut, kecewa semua rasa bercampur saat memikirkan kenapa almarhum Ayah tega menjodohkan Aku dengan sahabatnya yang lebih pantas menjadi Ayah ketimbang suamiku, tak henti-hentinya air mata ini mengalir.

My LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang