24- Remuk

24 10 2
                                    

Daun yang jatuh tak pernah membenci angin, dia membiarkan dirinya jatuh begitu saja. Tak melawan, mengikhlaskan semuanya.
Bahwa hidup harus menerima, penerimaan yang indah. Bahwa hidup harus mengerti, pengertian yang benar. Bahwa hidup harus memahami, pemahaman yang tulus.
-Tere Liye-

Bagian Duapuluh Empat

"Jadi Dina udah berangkat?"

Wanita paruh baya yang sedang duduk di sofa itu bertanya pada anak sulungnya. Merasa kasihan karena di tinggal sahabatnya itu, Ariell lantas mengusap atas kepala Oriell---berusaha menguatkan.

Oriell mengangguk, "Ini salah aku, Bun. Kalo aja aku denger penjelasan dia dulu, pasti gak akan kayak gini..."

"Stt, stt. Disini gak ada yang salah. Nak, di setiap persahabatan itu pasti akan datang yang namanya masalah. Asal kalian atasi bersama-sama pasti itu masalah akan terselesaikan. Walaupun kita nggak tahu akhirnya bakal kayak gimana. Tapi seenggaknya, kamu harus bersyukur, masalah kamu udah selesai." Jelas Ariell membuat air mata anak sulungnya itu luruh seketika.

"Makasih, Bun.."

Di rengkuhnya Oriell oleh sang bundanya itu, sambil sesekali tangis Oriell mengeluarkan isakan-isakan kecil.

Di sisi lain, Seril yang melihat kejadian itu, merasa hatinya cemburu. Ia ingin sekali berpelukan bersama bunda dan kakaknya itu. Ia ingin sekali keadaan seperti dulu lagi. Hangat dan tenteram, tidak seperti sekarang. Namun keegoisan di dalam dirinya masih kuat untuk mengalahkan keinginannya untuk kembali bersama.

dER SCHNITTER

Kelas masih kosong, hanya Loui sendirian yang baru saja datang. Javier, sepupunya itu belum juga datang. Dia selalu kebiasaan bangun terlambat, jadi Loui selalu meninggalkan sepupunya itu. Merasa bosan, Loui akhirnya menyumpalkan headset ke telinganya. Dan setelah itu ia menelengkupkan kepalanya di atas meja. Tak lama ia tertidur.

Beberapa menit kemudian, Loui merasakan bangku yang berada di sampingnya itu bergeser, menimbulkan suara gesekan yang beradu dengan lantai. Sudah pasti itu Javier.

"Kurang tidur bor?" Melihat Loui yang sedang tertidur, Javier bertanya. Walaupun Javier tahunya Loui sedang tertidur, tapi ia tak peduli.

Loui yang mendengar itu langsung mengangkat kepalanya dan membenarkan posisi duduknya. Di lihatnya teman-teman sekelasnya yang sudah datang.

"Mimpi gak, Wi?" Javier bertanya lagi.

Loui terkekeh mendengar pertanyaan penting Javier itu, "Paansi." Javier tertawa sendiri--entahlah Loui merasa aneh dengan sepupunya yang satu itu.

"Ya kirain gue lu mimpiin bidadari lagi mandi. Eh pas lu intip taunya mimi peri," Lawak Javier. Sebenarnya bagi Loui itu sama sekali tidak lucu, namun cara berbicanya sepupunya itu membuat mau tidak mau Loui tertawa juga.

"Receh lu."

"Ye, receh tapi ketawa. Pinter lu!"

dER SCHNITTER

"Wi, wi. Ikut gue bentar yuk. Lo gak akan kemana-mana 'kan?" Cewek yang rambutnya terurai itu menghadang jalan seorang cowok dengan kedua tangannya. Mau tak mau cowok yang di hadangnya itu berhenti berjalan karena tidak ada jalan lain.

Loui menggeleng. "Kemana?"

"Bagus dong kebetulan banget. Ikut gue dulu yuk," Oriell menarik tangan Loui ke suatu tempat. Ia sebenarnya sudah memikirkan ini tadi malam. Ia ingin berterima kasih pada Loui--semenjak Oriell kedatangan masalah, Loui selalu ada untuknya.

Tibalah mereka di café yang berada di seberang SMA Mentari. Suara lonceng berdenting saat Oriell membuka pintu café itu. Oriell menyuruh cowok yang di tariknya tadi itu duduk.

"Gue mau traktir lo, Wi. Sebagai ucapan terima kasih." Ucap Oriell sambil tersenyum penuh arti.

Cowok tanpa jambul itu mengangkat kedua alisnya, "Makasih?"

"Iya. Makasih. Makasih udah selalu ada saat gue ada masalah."

Loui melihat di atas meja sudah ada makanan yang terhidang. Ia bingung, ini semua Oriell kapan pesannya? Sepertinya Oriell sudah menyiapkan ini semua untuk dirinya. Dirinya?

"No problem,"

Loui heran saat melihat Oriell yang kini sedang tersenyum-senyum kikuk. Seperti orang yang sedang gugup tingkahnya.

"Kenapa?" Loui bertanya.

Oriell mengetuk-ngetukkan jari lentiknya ke atas meja sambil menggigit bibir bawahnya, "Mm, gue mau bilang makasih sekali lagi. Gue seneng lo selalu ada di waktu gue sedih. Gue rasa..

"Gu--gue suka sama lo. Di saat lo peduli sama gue, ada titik dimana gue sangat rasain yang namanya seneng. Dan gue selalu nyaman kalo ada di deket lo. Dan beberapa hari yang lalu, gue sadar, kalo gue itu suka sama lo. Gue tau cewek gak pantes banget nyatain kayak gini. Tapi gue tipe cewek yang tude point. Gue gak tau, lo rasain apa yang gue rasain atau enggak. Tapi gue gak bakal maksa lo untuk suka balik sama gue. Itu semua terserah lo. Manusia punya hak tersendiri untuk suka sama orang,"

Badan Loui menegang saat itu juga. Rasanya urat-uratnya mulai kaku, tak bekerja. Ia kaget. Jujur, ia tak akan menyangka jika Oriell akan berkata dari hatinya seperti itu. Ia bingung harus menjawab apa. Ia tidak tahu harus bagaimana.

Melibat raut Loui yang bingung, Oriell langsung merasa salah, salah berbicara. Sekarang keadaan menjadi sangat amat awkward, membuat Oriell bingung mau apa.

"Ekhem, udah lupain aja. Kita makan aja yuk," Oriell berusaha mengalihkan topik setelah beberapa menit hening melanda.

Loui masih bergeming. Ucapan-ucapan Oriell tadi masih terdengar jelas di otaknya. Baru saja Oriell ingin makan, suara Loui langsung membuatnya berhenti.

"Oriell,"

"Lo gak usah geer gue selalu ada buat lo. Itu semua gue lakuin tanpa ada niat sama sekali buat lo bawa perasaan. Itu semua murni. Kalo lo harap gue suka sama lo, itu enggak. Gue gak suka sama lo. Mulai sekarang lo harus jauhin gue. Daripada lo tambah geer."

Hening beberapa saat. Hanya ada suara kesibukan orang-orang yang berada di café. Oriell harap ini hanya sebuah mimpi. Namun sekarang Oriell harus menerimanya matang-matang. Jantungnya seakan berhenti bekerja. Hatinya terasa di hantam ribuan baja. Rasanya ingin menangis juga sulit karena saking sakitnya mendengar ucapan Loui.

"Thank's Wi. Lo berhasil buat gue jatuh sejatuh-jatuhnya."

Oriell melengos pergi dengan rasa sakit yang menemaninya. Loui diam di tempat. Ia tidak tahu kenapa ucapannya tadi keluar begitu saja dari mulutnya. Ia sangat bingung dengan perasaannya sendiri. Jujur, sedikit perasaan untuk Oriell ada, namun di sisi lain, Loui tidak ingin dekat dengan Oriell. Karena jujur saja Loui tidak ingin berhubungan dengan yang namanya perempuan. Menurutnya itu urusan belakangan, karena ia sekarang ingin fokus terhadap sekolahnya dulu. Mengingat ia masih anak SMA, jadi hal cinta itu seperti tidak ada dalam dirinya. Ia paling tidak mau berurusan dengan cinta, karena menurut dirinya pasti itu identik dengan sakit hati. Kalau tidak cewek yang sakit hati, ya paling cowok yang sakit hatinya. Dan Loui tidak ingin menjadi salah satu dari ribuan manusia yang akan merasakan sakit hati. Walaupun pasti suatu saat ia akan merasakannya, namun tidak dengan sekarang. Ia ingin fokus ke dalam pelajaran yang ia terap.
Tapi tanpa dia sadari, dia sudah meremukkan hati seorang perempuan. Perempuan yang tulus mencintainya itu.

Tinggal kita lihat akhirnya saja, akan adakah penyesalan. Karena sesuatu yang tulus jika di sia-siakan itu pasti akhirnya akan ada penyesalan.

***
a/n:
8:51 am
baru bangun:)

dER SCHNITTERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang