42- Penjelasan

17 3 0
                                    

Bagian Empat Puluh Dua

Bel pulang sekolah sudah berbunyi, sepulang sekolah Loui akan pergi ke rumah sakit. Javier mengatakan bahwa ia mulai besok akan masuk sekolah seperti biasa. Ayah Javier menyuruh Javier untuk sekolah dan jangan khawatirkan ibunya karena ayahnya yang akan menjaga ibu Javier. Tante Indah masih koma, tapi dokter mengatakan bahwa keadaannya membaik.

Loui melirik bangku Oriell yang sudah tidak ada penghuninya itu. Kemarin Oriell memaksa ingin ikut ke rumah sakit. Sebenarnya Loui malah senang jika bisa berlama-lama dengan Oriell, hanya saja ia malas jika harus melihat pemandangan yang tidak menyengkan antara Javier dan Oriell.

Apa hari ini Oriell tidak akan ikut ke rumah sakit lagi? Padahal
Sebenarnya Loui ingin mengatakan sesuatu.

Loui berjalan menuju parikiran sekolahnya, mencari mobil jazz putihnya. Loui melihat Oriell yang sudah berdiri dengan manis dengan badannya menyender pada mobil Loui. Ia tersenyum seperti anak kecil yang ketahuan makan es krim oleh orangtuanya.

"Ngapain lo?" Loui harus berakting jutek dan ketus lagi jika di depan Oriell.

"Mau ikut lagi, Wi." Oriell menyengir.

Tak menjawab perkataan Oriell, Loui langsung masuk ke mobilnya disusul oleh Oriell juga.

"Kok bukan jalan biasa ke rumah sakit sih? Emang ada jalan pintas ya?" Tanya Oriell

Loui menengok ke arah Oriell. "Mampir dulu bentar, ada yang mau gue omongin."

Oriell hanya mengagguk dan kembali diam. Setelah mobil sampai di sebuah taman, Oriell turun mengikuti Javier yang sudah turun terlebih dahulu.

Mereka duduk di satu bangku. Loui pun memulai percakapannya. "Lo harus hati-hati sama Regard."

Alis Oriell berkerut. "Hah? Maksudnya?"

Loui menghela nafasnya. "Adik gue meninggal. Em.. Gara-gara alesan bisnis bokap gue, padahal masalahnya gak terlalu besar, karena alesan tertentu bokap gue mecat bokapnya Regard. Mungkin karena bokap Regard stress dia meninggal bunuh diri. Regard jadi punya dendam sama keluarga gue, dia gak terima bokapnya meninggal kayak gitu. Akhirnya dia nyulik adik gue.."

Sebenarnya Loui sangat enggan bercerita tentang cerita ini kepada siapapun, tapi Loui juga tidak mau Oriell kenapa-kenapa.

"Adik gue meninggal, akibat ditembak sama pistol yang dipegang Regard, dan dia bilang sama gue bahwa sampai kapan pun dia pasti bakal ngebuat kebahagiaan keluarga gue."

Oriell tidak menyangka bahwa Loui mempunyai cerita tragis seperti ini. Oriell mengelus bahu Loui.

"Adik gue meninggal tepat di depan mata gue, gue sempet trauma beberapa bulan. Sampai akhirnya gue coba untuk ikhlasin kepergian dia.

Dan gue minta sama lo, lo harus hati-hati sama Regard."

Loui memeluk Oriell, ia ingin sekali saja memeluk perempuan satu ini. "Izinin gue untuk meluk lo sekali aja, Riell."

Oriell mengangguk.

dER SCHNITTER

Sesampainya di rumah sakit, wajah Javier kembali cerah saat melihat pacarnya itu datang ke rumah sakit bersama Loui.

Javier menyuruh Loui untuk mengajak Oriell makan siang terlebih dahulu karena dirinya tau mereka baru saja pulang sekolah. Setelah makan, kedua orang itu kembali ke kamar rawat inap Indah. Oriell melihat Javier yang tetap berada di sampingnya. Mata Indah masih saja bertahan menutup. Oriell menghampiri Javier lalu duduk di sampingnya.

"Jav, udah makan 'kan?"

Javie menoleh, "Udah lah, Oriell. Makannya aku nyuruh kamu makan sama Loui juga."

"Oh iya, hehehe." Oriell menyengir. Entah mengapa, sekarang Oriell merasa canggung duduk dekat Javier. Jujur saja, sebenarnya Oriell masih memikirkan percakapan dengan Loui. Percakapan itu semua masih terekam jelas di otaknya. Hingga membuat Oriell sekarang lebih banyak diam daripada berbicara. Javier sadar akan hal itu, namun ia belum berani menanyakan. Mungkin ini juga bukan waktu yang pas untuk menanyakan soal itu.

Sedangkan Loui, ia duduk di sofa sambil memainkan ponselnya. Ia sibuk bermain game dengan jari-jarinya yang lincah kesana-kemari. Padahal pikiran dalam otaknya sudah kemana-mana. Mungkin ini cara Loui untuk meluapkan seluruh emosi yang ada di dalam dirinya. Tentu dengan bermain game.

Pelukan Oriell. Hal itu masih Loui bisa rasakan hingga sekarang. Wangi khas Oriell masih tercium jelas di hidungnya. Namun ia sadar, tak sepantasnya ia memikirkan hal ini. Oriell sudah berada jauh dalam jangkauannya. Oriell sudah ada yang punya. Sepupunya sendiri.

Menurut Loui, kebahagiaan Javier adalah kebahagiaan dirinya juga. Begitu juga dengan Oriell. Melihat mereka sudah bersama, mau tidak mau, Loui ikut senang aja. Walaupun hati sepenuhnya tidak rela, matanya sakit melihat kebersamaan mereka, mau tidak mau, Loui harus menerima semua itu.

Karena balik lagi ke awal. Ini sepertinya salah Loui, yang tidak pernah mencoba untuk memperjuangkan perempuan itu.

dER SCHNITTER

"Dam, makasih. Semua kata-kata lo ampuh buat gue sekarang berubah. Dulu, gue selalu seneng hidup dalam penuh kebencian. Sekarang, gue lebih seneng dan tentram hidup dalam kebaikan. Thank's brother! Kalo gak ada lo, gue gak bakal berubah."

Cowok berambut messy yang di pegang pundaknya itu tersenyum melihat temannya-- tunggu, ia sudah menganggap saudara, sudah kembali. Diri Regard sudah kembali.

Begitulah manusia, sejahat-jahatnya manusia, suatu saat ia akan kembali bada jati diri awalnya. Semua manusia itu sebenarnya baik, namun keegoisan lah yang membuat diri menjadi merasa tinggi.

"Gue salut Ga. Akhirnya ada celah buat lo berubah. Gue seneng Ga. Super seneng."

Langsung saja Adam membawa Regard ke dalam pelukannya. Mereka berpelukan ala-ala lelaki. Beberapa detik kemudian, mereka saling melepaskan pelukannya itu.

"Eh goblok, najis, gue masih normal!"

"Etdah, gue juga najis kali!"

Akhirnya mereka pun tertawa bersama. Dan berpelukan lagi? Oh tentu.

***

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 21, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

dER SCHNITTERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang