31- Satu Permintaan

23 11 2
                                    

Bagian Tigapuluh Satu

Hujan rintik-rintik terus menerus turun dari langit. Tapi itu tidak membuat kehangatan hilang di meja makan keluarga Adhyasta. Namun suasana hangat itu hilang saat Redy--Papi Loui, saat berbicara mengenai hal itu.

"Wi, bawa cewek yang kemarin Mami ceritain dong ke rumah. Mami aja udah ketemu, tapi masa Papi belum," Mayla membenarkan ucapan suaminya itu, "Oriell, Pi.."

"Nah iya Oriell. Bawa dia lah kesini ketemu Papi. Biar tambah deket sama Papi." Tentu saja omongan Papinya itu membuat Loui maupun Javier tersedak. Mereka langsung meminum air putihnya yang sudah di sediakan.

"Apaan ah Pi," Loui menetralisir napasnya saat mendengar ucapan Papinya itu.

Redy tersenyum, "Wi, jarang-jarang lho kamu bawa perempuan ke rumah ini. Eh malah gak pernah. Ayolah jadiin Oriell jadi perempuan pertama yang kamu ajak ke rumah," Papinya mulai menggoda anaknya itu. Lagian sekalinya Loui membawa perempuan ke rumahnya, palingan juga mentok-mentok kerja kelompok.

Entah kenapa Javier merasa kesal. Loui seharusnya bilang yang apa yang sedang terjadi sebenarnya di antara Loui dan Oriell. Nah ini Loui malah diam saja seperti orang bisu. Javier ingin sekali berbicara yang sebenarnya pada orang tua Loui, namun ia takut di sangka ikut campur urusan mereka.

"Pokoknya Papi siap kok kapan aja. Papi sama Mami pasti bakal seneng banget kalo ada Oriell kesini," Papinya menoleh ke istrinya sambil tersenyum. Mayla mengangguk setuju dengan ucapan Redy.

Sudah lah, Loui menyerah dengan keinginan Papinya ini. Loui itu paling anti membantah keinginan orang tuanya. Jadi mau tidak mau Loui akan pikirkan soal ini dengan matang-matang. Apakah Oriell akan mau jika Loui ajak untuk bertemu dengan kedua orang tuanya?

dER SCHNITTER

"Gue gak mau ngecewain Papi. Dia tadi udah berharap banget." Begitulah dua kalimat yang keluar dari mulut Loui saat Javier masuk ke dalam kamarnya. Sebelum Javier berbicara apa-apa, Loui sudah mengetahui maksud dan tujuan sepupunya itu masuk ke kamarnya.

"Bagus lo paham niat gue kesini." Javier bersandar di dinding kamar Loui, kedua tangannya ia masukkan ke dalan celana selututnya, "Gue udah tau jawaban Oriell. Dia tentu gak mau. Hati dia masih sakit Wi. Dan itu otomatis bikin bokap lo kecewa. Dan kalaupun Oriell mau nerima ajakan lo, itu gak akan ngerubah rasa bencinya sama lo, Wi."

"Gue tau. Yang penting gue berusaha dulu."

"Good! Gue suka Wi kalo lo kayak gini. Akhirnya lo mau ada usaha, sedikit." Javier menepuk bahu Loui. "Ntar kalo lo gagal, gue bantu bujuk dia deh supaya mau nerima ajakan lo." Kata Javier kemudian.

"Gak usah. Biarin gue usaha dulu. Gagal atau enggak itu urusan belakangan."

Dan kini senyum salut Javier muncul saat mendengar ucapan sepupunya itu.

dER SCHNITTER

Perempuan yang kini rambutnya di cepol asal itu baru saja selesai makan malam. Ia langsung naik ke lantai dua untuk masuk ke dalam kamarnya.

Ponselnya bergetar saat ia baru saja duduk di atas kasur. Ia pun mengambil ponselnya yang berada di atas nakas. Satu notifikasi dari Line membuat mata Oriell hampir copot. Dan perlahan rasa sakit hatinya itu datang kembali. Kejadian itu seakan terekam kembali di pikirannya sekarang. Ia hanya membaca pesan itu.

Loui: oriell?

Satu kata namun mampu membuat hati Oriell panas. Ia langsung menimpuk ponselnya itu dengan bantal tidurnya. Namun tiga menit kemudian, ponselnya begetar lagi. Bahkan sampai beberapa kali. Karena rasa penasaran yang sudah mengumpul, akhirnya mau tidak mau Oriell membaca pesan itu.

Loui: riell tolong jawab

Loui: papi gue pengen ketemu sama lo

Loui: dia ngajak lo ketemu

Loui: lo mau kan?

Loui: maafin gue riell atas semuanya. gue gak bermaksud untuk nyakitin lo.

Loui: lo mau kan maafin gue?

Tangis Oriell luruh. Ia tak bisa berbohong bahwa ia membaca pesan itu dengan perasaan senang. Namun rasa benci pada Loui masih menguatkan Oriell. Alhasil Oriell mem-block kontak Line Loui. Ia tidak sanggup membaca jika Loui mengirim pesan lagi untuknya. Baru saja hati Oriell tenang karena kehadiran Javier di sampingnya yang pasti selalu membuat dirinya tertawa oleh tingkah pecicilan Javier. Namun dengan cepat Loui datang kembali membawa harapan. Justru itu makin membuat Oriell tambah sakit hati. Jika harapan itu palsu lagi, apa jadinya hati Oriell nanti? Jadi tolong, jangan membuat Oriell makin berharap. Karena jika harapan itu tidak sesuai dengan ekspetasi, itu tentu akan menyakitkan.

dER SCHNITTER

"Ya ampun Oriell! Gue berasa ngomong sama patung tau gak?! Lo jangan buat gue merasa kesepian deh.. Dina 'kan udah pergi. Nah lo yang ada disini malah ngacangin gue. Emang lo masih sakit hati sama Loui? Awet bang--"

"Lo tau apa soal gue sama dia?" Potong Oriell langsung. Nelvi menepuk jidatnya, ia keceplosan. "E-eh?" Kini sahabat Oriell itu memasang wajah tampang oon sedunia. Membuat Oriell ingin tertawa, namun sebisa mungkin ia tahan.

"Lo tau apa soal gue sama dia?" Ulang Oriell lagi.

"Sebenernya gue udah tau semuanya Riell.." Nelvi menjawab ragu. "Jujur Riell, gue gak tega liat lo di gituin sama si Loui. Waktu gue denger apa yang udah buat lo ngelamun tiap hari dari Javier, gue langsung emosi. Lo sahabat gue Riell. Gue gak mau liat sahabat gue sendiri sedih cuman karena cowok.

"Saat itu gue langsung nampar Loui. Untung lo lagi ke toilet. Jadi gak tau deh kejadian kemarin di kelas kayak gimana. Dan untungnya temen sekelas pada bisa jaga soal ini dari lo. Plis Riell, lo jangan marah sama gue. Gue emang gak maksud ikut campur sama urusan lo juga Loui. Di sini gue cuman ingin bela lo sebagai sahabat. Gue sayang lo Riell.. Gue gak mau lo nangis-nangis lagi kayak apa yang Javier bilang ke gue..."

Dugaan Nelvi yang mengira Oriell akan marah, ternyata itu tidak. Malahan Oriell sekarang memeluk tubuhnya dengan sangat erat membuat dirinya kesusahan bernapas.

"Makasih banget Nel! Lo sahabat gue paling ok sedunia! Gue juga sayang lo kok.." Nelvi menepuk-nepuk punggung Oriell, ia bermaksud untuk menyuruh Oriell melepaskan pelukannya. Namun Oriell tetap saja memeluk tubuhnya dengan erat.

"Oriell! Sayang sih sayang tapi gak usah erat-erat juga, ogeb!" Oriell langsung melepaskan pelukannya. Nelvi mengatur napasnya dengan teratur. Efek di peluk Oriell membuat napasnya berhembus tak beraturan.

Oriell menyengir melihat sahabatnya itu. "Lo mau kehilangan sahabat lo yang ok ini cuman gara-gara di peluk kenceng ama lo hah?" Oceh Nelvi membuat Oriell memeletkan lidahnya.

"Yee lebay lu kambuh 'kan!"

Itulah sahabat. Mereka yang selalu ada.

dER SCHNITTERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang