30- Meminta Izin

15 10 0
                                    

Bagian Tigapuluh

"Hallo tante, aku Javier temen deketnya Oriell." Javier tersenyum dan mencium punggung tangan Ariell, mama Oriell.

Ariell tersenyum seraya membukakan pintu rumahnya. "Oh, yang tadi nelfon ya? Ayok masuk-masuk."

Oriell dan Javier duduk di sofa ruang tamu. "Maaf ya tante, anaknya dipinjem dulu sebentar. Hehe."

Ariell tertawa. "Gapapa, nak Javier. Disini juga Oriell cuman diem atau nonton tv, gak ada kegiatan."

Diam-diam Seril memperhatikan 3 orang yang sedang berbincang-bincang di rumhanya itu, tak lupa ia juga menguping apa yang mereka bicarakan. Ini yang ia lakukan jika ada tamu yang datang ke rumahnya, entah sejak kapan ia melakukan kegiatan buruk ini.

"O,iya tante, kalo aku jadi pacarnya anak tante boleh kan?"

Oriell terkejut ia melotot ke arah Javier dan mengatakan 'lo apaan sih?' Tanpa suara.

Ariell pun sama terkejutnya dengan Oriell. Tapi, ia sempat tertawa karena sikap Javier yang aneh ini. "Tante si boleh-boleh aja. Tapi, semuanya tergantung sama Oriell."

Javier tersenyum penuh kemenangan. "Hahaha. Gampang itu mah tante, itu urusan aku."

Oriell memukul lengan Javier, lagian siapa bilang Oriell mau dengan cowok yang seperti ini. Sikapnya sih sama pecicilan seperti dirinya. Tapi, lawakan recehnya yang sangat membuat Oriell malu jika Javier melawak di depan umum.

"O,iya nak Javier, kalo mau ngajak Oriell jalan gak usah izin lagi sama tante, tante udah percaya sama nak Javier. Tapi, mainnya jangan melebihi batas dan pulangnya juga jangan terlalu malam ya."

Oriell mendengus. "Iihh, bunda apaan sih, siapa juga yang mau jalan lagi sama dia?!"

Ariell menggeleng melihat putrinya yang sedang blushing.

Javier berdiri. "Yaudah deh tante, aku pamit pulang dulu ya. Riell, gue pulang dulu ya."

Ariell menangguk dan ikut berdiri. Ia mengantarkan Javier sampai ke depan pintu rumahnya. "Hati-hati ya, nak Javier."

Javier menangguk dan langsung menjalankan mobilnya keluar dari komplek rumah Oriell.

"Kayaknya baik ya itu nak Javier?" Tanya Ariell kepada Oriell yang sedang memainkan handphonenya.

"Ya, gitu deh bun. Tapi, emang agak sengklek tuh anak. Udah ah bun aku mau ganti baju." Oriell terkekeh. Lalu ia berjalan ke arah kamarnya, ia melewati kamar Seril. Seril keluar dari kamarnya, dan menghalangi Oriell.

"Siapa lagi tuh cowok?" Seril tersenyum sinis.

Oriell menggeleng, ia sudah malas jika beradu mulut dengan adiknya. Bukan menyelesaikan masalah tapi hanya menabah masalahnya saja.

"Emang dasar ya cabe murahan. Sama cowok manapun mau ya lo? Haha. Di ajak cowok ini mau di ajak cowok itu mau. Kayaknya nanti om-om juga lo mau kali ya? Pantesan aja Regard gak sanggup sama lo."

Emosi Oriell cukup tersulut, bagaimana tidak, ucapan Seril tentu saja membuat Oriell sakit hati. "Sekarang gue gak akan marah sama lo. Tapi, tolong kalo lo mau ngomong itu dijaga. Jangan sampe orang lain yang dengernya dibikin sakit hati gara-gara omongan lo." Oriell lalu pergi dari hadapan Seril dan lansung membanting pintu kamarnya dengan keras.

dER SCHNITTER

"Dek, gue harus gimana?" Loui berbicara sendiri, sebenarnya ia sedang berbicara pada adiknya, Luha.

Loui memandangi fotonya dan Luha saat keluarganya sedang berlibur di Paris. Disana tidak terlihat bahwa mereka adalah kakak beradik tapi, mereka seperti layaknya seorang kekasih. Mereka sangat mesra walaupun di depan banyak orang, Papi dan Maminya sudah menganggap ini adalah hal biasa. Karena mereka memang sangat dekat dari kecil. Maka dari itu saat Luha meninggal Loui sangat terpukul. Ia bahkan harus membutuhkan waktu sampai berbulan-bulan untuk mengikhlaskan kepergian Luha.

Loui mengusap foto itu. "Gue gak tau apa yang harus gue lakuin sekarang, dek. Gue sayang sama Oriell tapi, gue juga gak mau Oriell kenapa-napa cuman gara-gara gue. Gue gak mau kejadian 1 tahun lalu terulang lagi. Kalo lo masih disini, lo pasti lagi nasehatin gue sekarang 'kan? Sayangnya lo udah ada di surga hidup damai dan tenang."

Loui menghela nafasnya. "Kenapa Regard tega lakuin ini semua sih? Emang ini juga salah Papi tapi, gak harus gini cara penyelesaiannya. Regard gak harus ngebuat orang lain menderita, karena kehilangam orang yang dia sayang."

Mungkin orang lain akan berkata bahwa Loui cowok gila karena dia berbicara pada sebuah foto. Tapi, menurut Loui ini adalah salah satu cara agar hatinya bisa terasa lebih ringan, karena ia bisa bercerita pada Luha. Walaupun belum tentu Luha mendengarnya tapi, Loui yakin bahwa dari tempat Luha tinggal di sana Luha sedang mendengarkan apa yang Loui ceritakan saat ini.

"Harusnya gue gak ngomong gitu ke Oriell waktu dia nyatain perasaannya ke gue. Harusnya gue hargain keberanian dia karena gak semua perempuan bisa ngelakuin itu. Dan karena kesalahan gue juga semuanya jadi kayak gini. Jujur gue iri lihat Javier deket banget sama Oriell, dek. Tapi, apa yang bisa gue lakuin sekarang? Gue cuman bisa meratapi kesalahan gue sendiri."

Ini memang sering Loui lakukan jika ia sedang ada masalah. Dulu, jika ia sedang ada masalah seperti ini Luha pasti menghampiri Loui dan bertanya kenapa Loui seperti ini, Luha sangat care pada kakaknya itu bahkan jika Loui pulang malam ia lebih khawatir dibandingkan Maminya sendiri. Loui merasa dirinya adalah orang yang sangat beruntung karena memiliki adik seperti Luha.

Setelah Papinya mengatakan yang sebenarnya waktu itu tepat di hari ulang tahun Luha, Papinya sudah jarang sekali keluar kota. Ia jadi lebih sering pulang lebih awal dan berbincang-bincang bersama Loui, bahkan tak segan-segan Papinya itu menanyakan kabar asmaranya. Mami Loui pun tak mau kalah Mayla yang sudah tahu bahwa Loui sedang dekat dengan Oriell pun memberitahu suaminya bahwa Oriell adalah perempuan yang cantik dan juga memiliki sifat yang sopan.

Sesekali mereka bercanda di meja makan saat mereka bertiga sedang makan malam bersama. Mereka bukannya melupakan Luha, tapi mereka sedang belajar untuk mengikhlaskan kepergian Luha.

dER SCHNITTER

A/n: aul lagi stress akibat ulangan mtk tadi~

-jasmine:v (?)

dER SCHNITTERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang