39- Menjadi Lebih Baik

37 9 3
                                    

Bagian Tigapuluh Sembilan

"Apa? Putus?" Cowok dengan sweater hitam yang melekat pada tubuhnya itu menatap ke arah kekasihnya-- mungkin beberapa menit lagi akan menjadi mantan kekasih-- dengan tatapan tanda tanya.

Seril mengangguk, "Iya. Gue, lo putus."

"Tapi gue gak mau!" Regard membentak. Seril menatap Regard dengan berani, sebenarnya hatinya agak ciut dengan bentakkan Regard itu. Namun Seril tidak akan takut karena ada Oriell yang menjaganya. Oriell berada di balik semak-semak-- sedang mengintip takut terjadi apa-apa pada adiknya itu. Omong-omong mereka sekarang berada di sebuah taman yang berada di pusat kota Bandung.

"Gue gak mau mutusin lo." Tegas Regard dengan penuh penekanan.

"Kenapa? Lo gak laku apa gimana? Oh gue tau, lo gak mau putus sama gue karna lo mau morotin gue lagi, iya?!" Tanya Seril dengan seruan di akhir kalimatnya. Memang benar, selama Regard berpacaran dengan dirinya, Regard selalu memanfaatkan ekonomi Seril. Kakak Seril sudah tahu itu, kemarin Seril bercerita semua kejadian yang pernah di alaminya dengan si cowok bajingan alias Regard itu.

Regard hampir saja mau menampar Seril jika seseorang tidak menahannya. Sepersekian detik, Seril membuka matanya-- ia barusan memejamkan mata, karena tangan Regard sudah igin menamparnya. Sadar bukan Oriell yang menahan tangan itu, Seril langsung salah tingkah. Ia melirik ke arah semak-semak yang dimana itu tempat Oriell bersembunyi tadi. Kakaknya itu sudah keluar dari persembunyiannya dengan wajah bingung sekaligus kaget.

Itu Adam. Iya Adam. Dia yang menahan tangan Regard. "Seril, mending lo balik sebelum di tampar ulang sama si Gaga." Ucap Adam sekalian menyindir temannya itu.

Seril tersenyum, "Thanks Dam." Adam mengangguk menjawabnya. Seril pun meninggalkan kedua cowok itu. Adam melepas tangan Regard kasar.

"Gue kira, dengan obrolan gue kemarin sama lo, itu bakal buat lo mikir. Tapi ternyata lo masih sama aja kayak dulu. Sama-sama kasar. Sama-sama egois."

"Lo gak usah sok alim. Lo sama aja kayak gue. Sama-sama bejatnya." Balas Regard tak mau kalah.

Adam menghela nafasnya berat, "Seenggaknya gue bisa mikir untuk hidup gue ke depannya kayak gimana. Gue mau jadi lebih baik. Lo bener, emang gue bejat. Tapi gue gak selamanya bejat. Dulu gue kalo ada masalah selalu mikir pendek kayak lo sekarang ini. Tapi sekarang gue udah berubah asal lo tau. Sekarang gue bukan Adam yang bejat. Sekarang gue bukan Adam yang suka mainin cewek. Sekarang gue pengen jadi Adam yang bisa banggain bonyok. Selagi gue bisa berubah, kenapa lo enggak Ga?

Gue yakin. Lo pasti bisa berubah. Mungkin emang gak sekarang. Tapi nanti. Semuanya butuh proses. Gue kayak gini sekarang juga ada prosesnya. Intinya yang gue mau sekarang lo berubah Ga. Gue yakin yang terburuk pasti ntar suatu saat kemudian akan jadi yang terbaik. Gue sama lo udah kayak sodara Ga. Gue ingin kita sukses bareng." Jelas Adam yang membuat hati seorang Regard kini kembali teduh. Ia terenyuh dengan kata-kata sahabatnya itu. Ia bergeming sesaat. Beberapa saat kemudian Regard mengangguk perlahan.

"Gue akan coba."

dER SCHNITTER

Tidak seperti biasanya, hari ini Javier tidak menjemput Oriell untuk berngkat sekolah bersama. Tanpa ada alasan yang jelas, Oriell pun hampir dibuat terlambat. Terpaksa Oriell harus menaiki kendaraan umum untuk pergi ke sekolah, karena supir yang biasa mengantar Oriell kebetulan sedang pulang kampung.

Sejak istirahat pertama Oriell tidak melihat keberadaan Javier, biasanya dimana ada Oriell disana pula ada Javier.

"Hari ini siapa yang tidak sekolah, sekertaris?" Tanya Bu Juju, di SMA Mentari memang mengharuskan bagi para pengajarnya untuk menuliskan siapa yang tidak sekolah di kelas yang akan diajar, karena nanti catatan itu akan masuk jurnal harian.

Sekertaris yang merasa namanya dipanggil pun bersuara. "Loui dan Javier, Bu."

"Ada keterangan?" Tanya Bu Juju lagi.

"Belum ada, Bu."

Bu Juju pun mengangguk tanda ia mengerti.

Oriell tak henti-hentinya me-line Javier untuk menanyakan mengapa ia tidak sekolah hari ini. Tapi, sejak 3 jam yang lalu tidak ada balasan dari sang empunya.

Tepat setelah bel pulang berbunyi, Hp yang dinggenggam Oriell bergetar.

Loui B : Riell, udh plg sekolah kan? Cepet ke Rs Santosa, Tante Indah koma.

Mata Oriell seperti akan copot sekarang juga. Oriell yang sudah tau bahwa Tante Indah adalah orang yang melahirkan Javier, sangat terkejut mendapatkan pesan dari Loui.

Oriell S : Ruang no brp? Gue otw.

Segera Oriell mencegat taksi yang melewat, sebelumnya ia memberitahu Nelvi bahwa Tante Indah sedang koma. Reaksi Nelvi tidak kalah terkejutnya. Oriell juga sudah mendapai izin dari bundanya.

Loui B : 308.

Disisi lain ada seorang anak laki-laki yang kini tengah meratapi ibunya, wajah ibunya pucat dengan selang menempel dimana-mana. Ia terus menggenggam tangan ibunya. Berharap dengan cara ini ibunya akan sadar dari koma.

"Jav, makan dulu. Lo belum makan dari kemarin." Loui sadar akan keadaan ini, ia tidak bisa terus menerapkan sifatnya yang dingin dan cuek terhadap sekitarnya.

Javier menggeleng, tatapannya kosong ia seakan kehilangan setengah jiwanya. Javier tidak peduli apakah dia sudah makan atau belum, bahkan tidak makan berhari-hari pun ia tidak akan peduli. Yang ia inginkan hanyalah ibunya, ibu yang telah berjuang melahirkannya ke dunia ini bangun dari koma, dan kembali ceria seperti sedia kala.

"Heh! kalo lo gini terus ibu juga pasti bakal sedih. Lo mau kecewain ibu?" Loui bersuara lagi, ia masih belum menyerah membujuk sepupunya itu untuk makan.

Javier tak menanggapi omongan Loui, ia keluar dari ruangan tempat ibunya terbaring lemah. Ia menyender pada tembok, tak tahu harus melakukan apalagi. Ayahnya masih dalam perjalanan, karena ayah Javier ditugaskan di luar negeri.

Kemarin malam, Javier menemukan ibunya sudah tak sadarkan diri di kamar mandi. Javier langsung membawa ibunya ke rumah sakit terdekat secepat yang ia bisa, bahkan lampu merah pun ia terobos. Penyakit ibunya memang sudah lama tidak kambuh tapi, karena kelelahan Indah tak bisa lagi menahan rasa sakitnya. Javier juga belum sempat menghubungi Oriell.

Javier sangat menyayangi Indah melebihi apapun. Air mata Javier mengalir dengan mudahnya, mengingat ibunya yang biasanya tersenyum gembira menyiapkan sarapan untuk Javier, membangunkan Javier dari tidur lelapnya kini terbaring lemah di atas kasur rumah sakit.

Oriell yang sedari tadi meminta supir taksi untuk mempercepat kecepatan mobil kini sudah berada di depan rumah sakit yang ia tuju. Ia langsung menuju ruangan 308 yang berada di lantai 3 Rumah Sakit Santosa, dilihatnya seorang lelaki yang terduduk lemas sembari memeluk lututnya. Itu adalah laki-laki yang kini sudah perlahan menggeser posisi Loui di hatinya. Ia berjalan ke arah lelaki itu.

***

dER SCHNITTERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang