25- Amarah

22 12 11
                                    

Bagian Duapuluh Lima

"Eh, Riell, lo belum balik?" Dirinya yang baru saja keluar dari toilet itu saat mendengar interupsi seorang lelaki langsung menengok ke arah sumber suara.

Timbul kerutan di dahi si lelaki saat melihat mata cewek yang di panggilnya itu kelihatan sembap, seperti habis menangis. "Lo nangis, Riell?" Memang sehabis Oriell mendengar ucapan yang amat sangat tidak enak di dengar cowok yang tadi bersama di café dengan dirinya itu---menyebutkan namanya saja Oriell malas. Oriell langsung berlari lagi ke sekolah, tepatnya ke toilet perempuan. Ia nangis sesenggukan disana. Ucapan cowok itu masih saja terngiang-ngiang dengan jelas di otaknya. Untung saja sekolah sudah sepi, jadi kemungkinan tidak akan ada yang dengar Oriell menangis. Dan pada saat ia keluar, ada suara yang menginterupsinya, dan ternyata itu Javier, sepupu cowok itu.

"Nggak kok. Jav, gue balik dulu yak. Duluan," Baru saja Oriell berjalan sekitar dua langkah tangannya sudah di cekal duluan oleh Javier.

"Lo balik sendiri 'kan? Gue anter. Angkot lama nunggunya kalo udah sore begini," Javier langsung saja menarik Oriell ke arah parkiran sekolah.

Javier yang baru saja ingin membuka pintu mobil untuk Oriell, cewek itu langsung menolaknya. Tidak usah. Javier pun langsung bergegas masuk ke pintu pengemudi.

"Rumah lo dimana, Riell?"

"Ntar gue tunjukkin arahnya. Jalan dulu aja,"

Mobil Javier pun mulai membelah jalanan Kota Bandung di sore hari. Lima belas menit kemudian, mereka sudah sampai di rumah Oriell. Jarak rumah Oriell dengan sekolah memang dekat--jika memakai kendaraan. Kalau jalan, bisa menempuh waktu dua puluh menit atau lebih bagi yang jalannya lama.

"Udah sampe nih," Di lihatnya Oriell melamun membuat Javier berkata dua kali dan suaranya menjadi agak keras, supaya Oriell sadar dari lamunannya. Setelah yang kedua kali itu, akhirnya Oriell sadar.

dER SCHNITTER

Javier memasuki halaman rumah Loui dengan tangan yang masih terkepal, walaupun tidak sekuat tadi. Saat tiba di pintu utama, ia mencoba meredam emosinya terlebih dahulu. Ia mencoba mengontrol dirinya agar nanti saat bicara pada Loui tidak memakai emosi yang berlebihan.

Ia pun melangkahkan kaki panjangnya ke dalam rumah Loui. Di lihatnya Mayla--Mami Loui sedang menonton televisi. Ia pun mengucapkan salam, selang beberapa detik, Mayla menjawabnya.

"Kok baru pulang, Jav?"

Javier menyahut dengan wajah seperti biasanya--pura-pura senang, padahal ada masalah. "Biasa lah, Mi. Ada urusan mendadak tadi,"

"Oh iya, Loui dimana, Mi?" Javier bertanya kemudian. "Ada tuh di kamar. Dari pulang sekolah di suruh makan gak mau. Pokoknya dia daritadi ngurung mulu. Gak tau deh kenapa. Coba ntar kamu tanya ya Jav. Sama Mami ditanyain jawabnya gapapa mulu," Ucap Mayla panjang lebar membuat Javier terkekeh mendengarnya.

Javier pun pamit ke kemar Loui dengan di jawab anggukan oleh Mayla. Pintu kamar Loui tertutup. Alhasil ia mengetuk pintu Loui, walaupun disini keadaan Javier sedang emosi, tapi tetap kesopanan harus selalu di laksanakan.

Tuk.. Tuk.. Tuk..

Di dalam kamar, Loui sedang melamun--lebih tepatnya memikirkan kejadian di kafetaria depan sekolah tadi bersama Oriell. Ia merasa bersalah. Ia rasa, ia telah salah ucap. Mendengar ada ketukan pintu, Loui langsung membukanya. Baru saja membuka, ujung pelipisnya sudah perih, terkena jotosan. Otomatis matanya menjadi samar, setelah sadar siapa yang melakukan itu, Loui langsung mengangkat kedua alisnya itu. Bertanya apa maksud pada orang yang sudah memukulnya itu, Javier.

"Lo sepupu gue yang paling bego, Wi."

Ucapan Javier itu otomatis membuat Loui menyerngitkan dahinya, "Maksud lo apa?"

"Lo harusnya sadar, Wi. Lo harusnya buka mata! Cewek kayak Oriell lo tolak gitu aja. Lo udah sia-siain dia bro. Lo harusnya gak ngomong kata-kata pedes buat Oriell.

Kalo lo gak suka sama dia, lo gak usah ngeluarin kata-kata pedes lo itu. Lo tau? Akibat omongan lo, si Oriell nangis. Fix, lo cowok brengsek, man!" Javier menunjuk Loui tepat di depan wajah tampan Loui dengan jari telunjuknya itu.

"Lo tau darimana?"

"Lo gak usah nanyain itu. Yang lo sekarang harus lakuin itu mikir! Cewek yang mencintai lo dengan tulus, lo malah sia-siain gitu aja!" Suara Javier naik satu oktav.

Loui mengusap wajahnya, frustasi. Ia bingung. Pikiran dia kalut. Ia tidak tahu harus bagaimana.

"Kalo lo suka sama Oriell, ambil aja. Oriell lebih cocok sama cowok kayak lo dibanding sama cowok brengsek kayak gue." Ucap Loui selang beberapa detik membuat senyum miring terbit di wajah tampan Javier.

"Lo tau? Emang itu yang gue mau. Tapi cewek yang gue suka itu udah cinta sama cowok lain. Dia cinta banget sama cowok itu. Bahkan dia tulus. Tapi sayangnya, cowok yang dia suka itu gak punya otak. Bego. Bahkan gue yang selalu ada buat dia, dia gak lirik. Dia tetep fokus sama cowok yang dia cintain dengan tulus itu. Dan pada suatu hari, si cewek itu udah gak kuat mendem perasaannya sendiri. Alhasil dia nyatain perasaan itu ke si cowok kaku, dia gak peduli kalo itu gak pantes di lakuin cewek. Yang penting perasaannya lega. Dan tanpa dia duga, cowok yang udah bikin dia jatuh itu, malah nolak mentah-mentah." Jelas Javier sambil menyindir Loui.

"Lo.. lo suka sama Oriell?"

"Ya, kenapa? Gue relain Oriell demi lo, Wi. Tapi hal itu ternyata gak harus gue lakuin. Gue bodoh. Karena gue udah ngasih cewek yang gue cintai itu ke orang yang begonya minta ampun.

"Sekarang gue mau lo minta maaf ke Oriell, Wi. Sebelum semuanya terlambat. Gue gak mau liat dia nangis kayak tadi."

Javier melengos pergi dari hadapan sepupunya itu. Meninggalkan Loui yang bergeming.

Loui merasa dirinya sangat.. sangat bodoh.

dER SCHNITTER

A/n: eh mau nanya dong, menurut kalian Luha tuh siapanya Loui sih?

-jasmine💞

dER SCHNITTERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang