38- Permintaan Maaf

18 6 0
                                    

Bagian Tigapuluhdelapan

Seril berjalan menyusuri daerah Bandung yang cukup kumuh, ia tidak tahu kemana tujuannya, yang terpenting Seril tidak ada di rumah sekarang. Seril mengikuti kata hatinya.

Sampah dimana-mana, anjing liar berkeliaran, anak kecil yang tidak terurus sudah biasa Seril lihat jika ia sedang merasa tidak nyaman berlama-lama diam di rumahnya.

Perhatian Seril teralihkan saat ia melihat seorang perempuan yang sepertinya sebaya dengan Seril menangis tersedu-sedu saat melihat mayat perempuan yang akan dimasukkan ke dalam liang lahat. Sepertinya itu ibu dari anak perempuan itu batin Seril. Karena penasaran Seril pun menghampiri anak perempuan itu.

"Emm-- lo, eh maksud gue, ini ibu kamu?" Tunjuk Seril pada sebuah batu nisan yang baru saja anak perempuan itu tutupi dengan tanah.

Perempuan itu mengangguk lemah. "Iya," Sepertinya tak lama lagi ia akan menangis.

Seril mengelus punggung perempuan itu. "Sabar ya, eh iya hampir lupa, nama aku Seril, kamu?" Seril mengulurkan tangannya. Ia berusaha berbicara menggunakan aku-kamu agar lebih nyaman saat dirinya berbicara dengan perempuan itu.

Perempuan itu menoleh, lalu ia membalas uluran tangan Seril. "Nama aku, Nana." Ia tersenyum.

"Senang kenalan sama kamu. Kamu kelas berapa?"

Nana menggeleng. "Aku gak sekolah, aku bekerja untuk pengobatan ibuku yang sakit parah. Ayah aku pergi waktu aku umur 5 tahun, dan sampai sekarang aku gak tau dimana ayah aku."

Seril merasa dirinya masih beruntung jika dibandingkan dengan Nana. Apa yang telah Seril alami sejak ia kecil sampai sekarang adalah cobaan kecil yang Allah berikan, daripada cobaan yang Allah berikan pada Nana. Mungkin disini Seril yang terlalu berlebihan menanggapi masalahnya sendiri, padahal masalah itu bisa diselesaikan dengan cara baik-baik.

"Apa ibu kamu masih ada?" Nana bertanya pada Seril yang sedang melamun.

Seril mengangguk

"Aku ingin berpesan sama kamu, kalo ibu kamu masih ada, masih sayang sama kamu, jangan kamu sia-siain kasih sayang yang dia kasih ke kamu. Karena, mungkin aja besok, lusa ataupun sekarang dia gak akan bisa berikan kasih sayang itu lagi. Jadi, aku harap kamu sayangin ibu sama bapak kamu buat mereka bangga, sebelum itu terlambat. Walaupun aku tau bahwa kita gak pernah bisa membalas jasa dan kasih sayang yang mereka kasih ke kita selama ini. Karena, aku gak mau kamu menyesal kayak yang aku alamin sekarang." Nana berbicara panjang lebar. Ia menyesal karena tidak bisa membahagiakan orangtuanya sebelum mereka meninggalkan Nana.

Seril merasa ada sebuah titik yang menyadarkan dirinya, bahwa perbuatannya terhadap orangtuanya sangatlah buruk. Air mata Seril menetes, tetes demu tetes mulai membanjiri pipinya. "Thanks, Na." Seril berlari, ia ingin segera memeluk bundanya sebelum apa yang Nana bilang terjadi, ia berlari sekencang mungkin menuju rumah yang beberapa menit lalu sangatlah ia benci. Tapi, mulai sekarang rumah itu adalah tempat dimana Seril menemukan kebahagiaannya.

Sampai di rumah, Seril langsung mencari bundanya. Ia memeluk Ariell dengan erat seakan ia tidak mau melepaskan bundanya lagi. Ariell yang menyadari akan perubahan perilaku putrinya itu, kemudian membalas pelukan Seril, menyalurkan rasa kasih sayangnya.

Seril menangis tersedu-sedu. "Maafin Seril, Bun." Ia membenamkan kepalanya pada bahu Ariell.

Ariell mengelus punggung anak bungsunya itu. "Seharusnya bunda yang minta maaf. Bunda gak seharusny--"

"Sstt." Seril tidak mau bundanya meneruskan omongannya itu, menurut Seril itu adalah masa lalu, masa lalu yang harus ia dan bundanya lupakan. "I love you, bun."

Ariell terharu akan perilaku putrinya itu, sampai ia meneteskan air matanya. "I love you too, sweetheart."

dER SCHNITTER

Hari ini Oriell sangat lelah. Ia membaringkan tubuhnya di atas kasur, tak lupa hp kesayangan disampingnya. Ternyata ada notifikasi line dari Javier.

Javier : Riell, udah sampe rumah kan lo?

Oriell. S : udaah jav, lo dimana sekarang?

Javier is calling you

'Halo.'

'Gue ke rumah lo ya?'

'Ngapain deh? Apa banget, baru aja tadi ketemu masa udah kangen. Emang gue ngangenin sih ya.'

'Riell.'

'Apaan?'

'Gue pengen nanya deh.'

'Tanya lah.'

'Tadi kenapa si Regard nyampe jatuhin buku yang lo bawa sih? Gue gak ngerti deh.'

'Au tuh anak emang sengklek, kesel gue. '

'Awas lo ya jangan deket-deket ama si Regard lagi!'

'Ih! Apaan sih lo! Udah ah gak usah bahas gituan.'

'Eh, Riell. Masa iye tadi gue dikentutin emak gue, baunya gak nahan sumpah.'

Oriell terkekeh, memang pacarnya itu selalu membuat dirinya tertawa.

'Gapapa lah kentut kan sehat.'

'Sehat sih sehat tapi, gak usah di kuntutin kali guenya! Yaudah gue bales nyokap gue deh. Kan gue tidur-tiduran di paha bohainya emak gue, nah paha emak gue, gue ilerin deh!'

Lagi-lagi Oriell tertawa.

'Dasar anak durhaka.'

'Yang penting gue gak pernah buat emak gue mewek.'

Tok.. tok..

Pintu kamar Oriell diketuk oleh seseorang.

'Eh jav, udah dulu deh ya. Ada yang ngetok pintu kamar gue nih.'

Tanpa persetujuan dari Javier, Oriell langsung memutuskan sambungan. Dilihatnya Seril di lawang pintu kamarnya. Dahi Oriell berkerut, tidak biasanya Seril tiba-tiba masuk ke dalam kamarnya.

"Kak, gue mau ngomong sama lo." Seril duduk di tepi kasur.

Seril memeluk Oriell dengan erat. Tentu saja Oriell merasa aneh akan perilaku Seril ini tapi, Oriell berusaha berfikir positive.

"Kak, maaf gue baru bisa berfikir jernih sekarang. Gatau kenapa otak gue ini lagi dipengaruhin sama apa, intinya gue ingin minta maaf sama lo, kak, atas kelakuan buruk gue selama ini." Seril menunduk, ia bersyukur karena ia telah di sadarkan.

"Gue tau, mungkin kalo lo boleh jujur atas semua perilaku gue selama ini, lo pasti ingin berontak, ingin teriak sekeras mungkin kalo lo benci sama gue. Tapi, lo gak lakuin itu semua, karena lo adalah satu-satunya kakak terbaik yang pernah gue temuin. Gue bersyukur banget."

Oriell menangis, ia terharu atas perlakuan adiknya ini ia sangat tidak menyangka adiknya akan berubah. Oriell merengkuh tubuh Seril kedalam pelukannya.

dER SCHNITTER

dER SCHNITTERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang